“Kamu brengsek!”
begitu sambutan gadis itu, ketika aku sampai di meja yang terletak di sudut
luar kantin tempatnya duduk, di kantin sudut kampus.
“Wah, sedap
banget!” sahutku, menyeringai, “Baru sampe udah dihadiahin makian ama mahasiswi
cantik,” ujarku, bukan sebagai keluhan, seraya mengempas duduk di sisinya.
“Emang aku punya salah apa sih ama kamu, Cantik?”
“Udah,”
anggukku, kalem. “Emang kenapa?” kupandang dalam-dalam mata di balik kaca mata
minus itu.
“Kenapa? Dasar
brengsek! Seminggu penuh mereka ngerjain aku, tau!” Aku ragu apa ia benar-benar
marah karena itu. “Habis-habisan aku dipingpong! Sampai aku nggak bisa berkutik
lagi!” geramnya, tapi sirat wajahnya tak menggambarkan perasaan itu. “Dari
mulai dosen sampai mahasiswa, semuanya bersekongkol menggarap aku! Brengsek
banget orang-orang itu!”
Aku mendesis dan
menggeleng-geleng pelan, lalu mengangkat tangan kanan serta
menggerak-gerakkannya di udara. Ibu kantin terusik perhatiannya dan menoleh ke
arah kami.
“Bu! Tolong
buatkan es teh manis, Bu!” kataku padanya, lalu kembali kepada gadis cantik
yang duduk di sebelahku. “Apa sih sebetulnya yang mereka gosipin mengenai
kita?” tanyaku padanya.
“Mereka bilang,
kita diam-diam... ada main.”
“Maksudnya...
ada main gimana?” aku kurang paham maksudnya.
“Pacaran
diam-diam.”
“Ooh...! Emang
mereka punya bukti apa?”
“Katanya salah
seorang di antara mereka, ada yang mergokin kita lagi nonton malam Minggu kemarin.”
Mata di balik
kaca mata itu bergerak-gerak gelisah. Namun aku tetap tak bisa menemukan adanya
amarah di sana. “Lagian, kalau misalnya kita emang betul pacaran. Apa itu bikin
mereka jadi dirugikan? Nggak, 'kan?” akhirnya ia tiba pada kesimpulan yang memihak
dirinya.
Aku mengangguk,
membenarkan, setuju. Ibu penjaga kantin mengantarkan pesananku, es teh manis.
“Sebetulnya,
menurutku, mereka itu bukan merasa dirugikan,” kataku, lalu kuhirup es teh
manis itu, beberapa teguk, kemudian, “Tapi merasa dikagetkan. Terus jadi
kecewa, karena merasa tertipu.”
“Tertipu?
Tertipu sama siapa?”
Aku mencebik dan
mengangkat bahu. “Ya ama anggapan mereka sendirilah. Kita 'kan biasa punya
anggapan-anggapan yang belum tentu benar kayak begitu. Kita anggap kita ini
baik, cakep, pinter, kaya, dan sebagainya. Padahal di luar sana, banyak yang
lebih baik, lebih cakep, dan lebih pinter dibanding kita. Terus kita jadi kaget. Kecewa.
Itulah kita, kalo kita mau jujur.”
Mata indah di
balik kacamata minus itu memandang padaku terpana. “Wah, nggak nyangka banget
kamu bisa ngomong kayak begitu,” cetusnya.
Aku hanya senyum
miring. “Aku ini emang brengsek, tapi bukan bodoh.”
“Oh, sori,”
tiba-tiba ia sadar telah melecehkanku. “Terus... apa hubungannya anggapan
mereka itu sama kita?”
“Ya sederhana
aja sebetulnya. Coba kamu perhatikan kata-kataku ini,” Aku membenahi posisi
duduk. Ia memerhatikanku dengan tatapan penuh perhatian. “Malam Minggu kemarin
aku ngajak kamu nonton. Dan kamu mau. Dan... katanya, ada yang mergokin kita.
Menurut kamu, apa itu bukan caranya takdir buat menyampaikan pernyataan, bahwa
kita lagi menuju ke arah itu?”
Mata indah di
balik kacamata minus itu menyusup dalam hingga ke hatiku dan berenang-renang di
sana. Dan... keheningan diam-diam mengalir datang untuk kemudian menenggelamkan
kami.
“Kalo dipikir-pikir,”
pecahku, seraya kemudian menghela napas. “Sebetulnya emang pantes sih kalo
mereka ngeributin hubungan kita ini,” ujarku, pelan, menebangi kisi-kisi
kebisuan. “Soalnya mereka nggak ngerti, nggak bisa ngerti, atau... mungkin juga
nggak mau ngerti, kenapa aku, yang mereka kenal sebagai cowok brengsek,
mahasiswa paling resek di kampus ini, bisa mendekatimu dan bahkan jalan ama
kamu, yang mereka kenal sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa yang paling
bermusuhan ama golongan mahasiswa brengsek kayak aku ini!”
“Tapi kamu 'kan
beda dari mereka,” dalihnya, membela diri.
“Beda? Apa
bedanya?” Aku ingin tahu apa yang dia ketahui mengenai diriku.
“Ya... banyak,”
sahutnya, sambil terlihat berpikir. “Yang aku liat sih, kamu tuh sebetulnya
cerdas. Terus... nggak narkoba, nggak jahat, cuma jahil, terus... ya pokoknya
kamu masih terbilang baiklah jadi cowok. Punya sifat jujur, apa adanya, nggak
jahat ama cewek,” rincinya kemudian.
“Ooh, gitu ya?”
Ternyata aku terlihat baik juga, ya? Aku tersenyum padanya. “Makasih ya, udah
punya pandangan sebaik itu ama aku.”
Aku suka sekali
melihat dia kalau lagi tersipu begitu. Rupanya ia mendadak sadar kalau dirinya
telah membuka rahasia perhatiannya terhadapku. Rona semu dadu yang merekah di
pipinya, gerak-geriknya yang gugup dan salah tingkah, adalah pemandangan yang
sangat langka dari gadis yang tak pernah terlihat canggung untuk tampil di
forum apa pun ini.
“Aku nggak
nyangka, ternyata masih ada orang yang bisa ngeliat aku dari sisi yang positif.
Aku kira... stempel cowok brengsek yang selama ini nempel di diriku udah nggak
termaafkan. Tapi nggak taunya....” Kulirik dia... wah, ternyata dia malah asyik
melamun. Maka kuletakkan sebutir es batu di punggung tangannya. Ia terkejut dan
mengibaskan tangannya. Aku tertawa. Ia menyerbuku dengan cubitan di pinggang
dan lenganku.
“Diajak ngomong
malah ngelamun!” omelku. “Ngelamunin siapa, sih?”
“Ngelamunin
kamu!” ia memencet hidungku dengan gemas.
Aku tertawa,
sembari balas memencet hidungnya yang mungil bangir itu.
“Sebetulnya... kamu
selama seminggu kemarin ke mana, sih?” tanyanya, di ujung canda kami.
“Ada aja di
rumah.”
“Kok nggak
kuliah?”
“Sengaja, biar
kamu babak-belur dikerjain ama mereka-mereka itu.”
“Ih, jahatnya!”
Ia melotot bulat. Aku tertawa. Dia tampak semakin cantik kalau lagi begitu.
“Kamu emang betul-betul brengsek!” ia meninjui lenganku, bertubi-tubi. Tapi aku
terus tertawa-tawa saja menerima serbuan tinjunya yang lunak.
Beberapa orang
mahasiswa dan mahasiswi yang hendak ke kantin ini, mendadak putar arah begitu
melihat ada kami di sini. Aku memerhatikan mereka.
“Wah, bakal
tambah gawat nih urusannya!” ujar gadis yang duduk di sebelahku ini, khawatir.
Aku menolehnya.
Untuk beberapa jenak mata kami berpagutan, saling menyelami. Namun ia akhirnya
jatuh merunduk. Aku memerhatikan paras cantik yang semu dadu itu.
“Sekarang kita
harus gimana menurut kamu?” tanyanya, tanpa mengangkat kepala.
“Mmm...!” aku
mengulum sebutir es batu. “Ketua BEM minta saranku?”
“Jangan becanda
kamu! Ini masalah serius, tau?”
“Aku tau,”
anggukku. “Kamu minta saranku, 'kan?”
“Ini masalah
kita! Bukan cuma masalahku!”
Aku tersenyum,
menatapinya. Ia melotot, tapi lantas memalingkan muka. Aku jadi ingat pada nasihat seorang teman mengenai kodrat perempuan. Dia bilang: "Seorang perempuan, sehebat apa pun dia, kalau kau tahu titik yang tepat untuk menyentuhnya, maka kau akan mendapati dia sebagaimana layaknya seorang perempuan." Hmm, aku jadi ingin tahu, apa aku sudah menyentuhnya pada titik yang tepat itu?
“Tau nggak, kamu
tuh tambah cantik kalo lagi marah-marah gitu,” cetusku, mengganggunya.
Ia menyedekapkan
kedua lengannya dan memutar tubuh, memunggungiku. Aku tertawa senang.
Kugelitiki lehernya. Ia membalik dan menatapku dengan mata melotot, tapi ia
terlihat tidak benar-benar sedang marah. Wajahnya merah menyiratkan luapan rasa
senang dalam ketersipuan.
“Cantiknya...!”
kuelus pipinya. Ia menangkap tanganku.
“Kamu bisa
diajak ngomong serius nggak, sih?”
“Ya, bisalah,”
jawabku. “Tapi... boleh 'kan aku ngelus pipi kamu dulu?”
Ia menghela
napas panjang, seraya melebarkan matanya.
“Boleh aja. Tapi
jangan sekarang, dong!”
“Kalo gitu,
seriusnya juga nggak sekarang, dong?”
“Kamu... iiiiih!”
Aku
tertawa-tawa. Senang sekali aku bisa menggoda gadis galak, yang biasanya tak
pernah kalah kalau berdebat ini.
“Iya, deh,
hehehe...,” kataku akhirnya. “Apa sih yang perlu kita omongin, Cantik?”
Ia menatap lurus
ke dalam mataku. Sepertinya ia belum yakin kalau aku sudah mulai serius.
“Soal gosip
itu,” katanya, masih agak ragu.
“Ooh iya. Kita
harus gimana? Gitu, 'kan?”
Ia mengangguk.
“Terus-terang, aku nggak tau, aku harus gimana...?” ujarnya.
Aku meraih
tangan kirinya dan menggenggamnya, lembut, seraya menatapnya. Ia menghindari
tatapanku. Rupanya ia takut aku menemukan sesuatu di dalam matanya itu. Tapi
itu sudah sangat terlambat. Aku sudah mengetahuinya sejak tadi.
“Gimana kalau
kita... iyakan aja?” putusku.
Ia terlihat agak
kaget dan menatapku dengan mata membelalak. “Kamu...?” Ia tak meneruskan
kata-katanya.
Aku meremas
jemarinya dan tersenyum. “Terus terang, sebetulnya aku setuju ama gosip itu,”
ujarku. “Cuma sayangnya... kenapa gosip itu bukan bersumber dari aku, melainkan
dari....” Kutatap ia. Dan ia seketika tahu kalau aku sedang menjebaknya. Ia
terperangah.
“Aduh, kamu tuh
emang brengsek, ya! Kamu menjebakku!” luapnya, dengan wajah memerah. "Dari mana kamu tau kalo...?" ia menelan sisa pertanyaannya. Tapi aku tahu apa yang ingin ditanyakannya. Maka kupenuhi keingintahuannya itu dengan mengungkap rahasianya sekalian.
“Sedetik seudah kamu cerita ama Rosye kalo kita abis nonton di Metropole, dia telepon aku buat cari tau kebenarannya,” ungkapku. "Dan kita semua taulah kalo Rosye itu bandar gosip, jadi, ya... kupikir, ayolah kita main tembak-menembak lewat keahlian Rosye bergosip."
Dengan dua tangan jemarinya kugenggam. Ia membalas genggamanku dengan hangat. Tapi wajahnya tetap dipenuhi rona merah, dan senyumnya tersipu.
Dengan dua tangan jemarinya kugenggam. Ia membalas genggamanku dengan hangat. Tapi wajahnya tetap dipenuhi rona merah, dan senyumnya tersipu.
“Aku tau, aku
berutang satu langkah ama kamu,” kataku, pelan, serius. “Dan sekarang juga akan
aku bayar utang itu.”
Dia menatap
langsung ke dalam mataku. Ada yang gemetar di dalam sana.
“Kalo kamu memang mau
menerima cowok brengsek ini di hati kamu... aku janji akan jadi cowok terbaik
buat kamu,” ikrarku, jelas, tegas, tenang. "Kita tunjukin ke mereka, bahwa Ketua BEM mereka nggak keliru karena memilih cowok yang katanya brengsek ini buat jadi pendampingnya."
Aku melihat kemeriahan pasar malam di dalam matanya. Ia menggigit bibir, gerak-geriknya
sangat indah dalam ketersipuan dan malu-malu begitu.
“Dan kamu... udah
tau... apa jawabanku, 'kan?” bisiknya, menggeletar.
Kantin di sudut
kampus ini sepi, dan memang selalu begitu keadaannya, setiap hari, setiap kami singgahi....
*****
Jakarta, 27
September 1983
Telah
diterbitkan sebagai "Percikan"
pada Majalah
Gadis No. 12, 30 April-9 Mei 1984
di bawah
nama: M. H. Thamrin Mahesarani.
Revisi
terakhir: 24 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.