25 Mei 2016

Cerpen: Kisah Kecil dari Sudut Kampus

“Kamu brengsek!” begitu sambutan gadis itu, ketika aku sampai di meja yang terletak di sudut luar kantin tempatnya duduk, di kantin sudut kampus.
“Wah, sedap banget!” sahutku, menyeringai, “Baru sampe udah dihadiahin makian ama mahasiswi cantik,” ujarku, bukan sebagai keluhan, seraya mengempas duduk di sisinya. “Emang aku punya salah apa sih ama kamu, Cantik?”
“Kamu udah dengar gosip itu?” tanyanya, tak memedulikan pertanyaanku yang memang hanya bertujuan menggodanya.
“Udah,” anggukku, kalem. “Emang kenapa?” kupandang dalam-dalam mata di balik kaca mata minus itu.
“Kenapa? Dasar brengsek! Seminggu penuh mereka ngerjain aku, tau!” Aku ragu apa ia benar-benar marah karena itu. “Habis-habisan aku dipingpong! Sampai aku nggak bisa berkutik lagi!” geramnya, tapi sirat wajahnya tak menggambarkan perasaan itu. “Dari mulai dosen sampai mahasiswa, semuanya bersekongkol menggarap aku! Brengsek banget orang-orang itu!”
Aku mendesis dan menggeleng-geleng pelan, lalu mengangkat tangan kanan serta menggerak-gerakkannya di udara. Ibu kantin terusik perhatiannya dan menoleh ke arah kami.
“Bu! Tolong buatkan es teh manis, Bu!” kataku padanya, lalu kembali kepada gadis cantik yang duduk di sebelahku. “Apa sih sebetulnya yang mereka gosipin mengenai kita?” tanyaku padanya.
“Mereka bilang, kita diam-diam... ada main.”
“Maksudnya... ada main gimana?” aku kurang paham maksudnya.
“Pacaran diam-diam.”
“Ooh...! Emang mereka punya bukti apa?”
“Katanya salah seorang di antara mereka, ada yang mergokin kita lagi nonton malam Minggu kemarin.”
Mata di balik kaca mata itu bergerak-gerak gelisah. Namun aku tetap tak bisa menemukan adanya amarah di sana. “Lagian, kalau misalnya kita emang betul pacaran. Apa itu bikin mereka jadi dirugikan? Nggak, 'kan?” akhirnya ia tiba pada kesimpulan yang memihak dirinya.
Aku mengangguk, membenarkan, setuju. Ibu penjaga kantin mengantarkan pesananku, es teh manis.
“Sebetulnya, menurutku, mereka itu bukan merasa dirugikan,” kataku, lalu kuhirup es teh manis itu, beberapa teguk, kemudian, “Tapi merasa dikagetkan. Terus jadi kecewa, karena merasa tertipu.”
“Tertipu? Tertipu sama siapa?”
Aku mencebik dan mengangkat bahu. “Ya ama anggapan mereka sendirilah. Kita 'kan biasa punya anggapan-anggapan yang belum tentu benar kayak begitu. Kita anggap kita ini baik, cakep, pinter, kaya, dan sebagainya. Padahal di luar sana, banyak yang lebih baik, lebih cakep, dan lebih pinter dibanding kita. Terus kita jadi kaget. Kecewa. Itulah kita, kalo kita mau jujur.”
Mata indah di balik kacamata minus itu memandang padaku terpana. “Wah, nggak nyangka banget kamu bisa ngomong kayak begitu,” cetusnya.
Aku hanya senyum miring. “Aku ini emang brengsek, tapi bukan bodoh.”
“Oh, sori,” tiba-tiba ia sadar telah melecehkanku. “Terus... apa hubungannya anggapan mereka itu sama kita?”
“Ya sederhana aja sebetulnya. Coba kamu perhatikan kata-kataku ini,” Aku membenahi posisi duduk. Ia memerhatikanku dengan tatapan penuh perhatian. “Malam Minggu kemarin aku ngajak kamu nonton. Dan kamu mau. Dan... katanya, ada yang mergokin kita. Menurut kamu, apa itu bukan caranya takdir buat menyampaikan pernyataan, bahwa kita lagi menuju ke arah itu?”
Mata indah di balik kacamata minus itu menyusup dalam hingga ke hatiku dan berenang-renang di sana. Dan... keheningan diam-diam mengalir datang untuk kemudian menenggelamkan kami.
“Kalo dipikir-pikir,” pecahku, seraya kemudian menghela napas. “Sebetulnya emang pantes sih kalo mereka ngeributin hubungan kita ini,” ujarku, pelan, menebangi kisi-kisi kebisuan. “Soalnya mereka nggak ngerti, nggak bisa ngerti, atau... mungkin juga nggak mau ngerti, kenapa aku, yang mereka kenal sebagai cowok brengsek, mahasiswa paling resek di kampus ini, bisa mendekatimu dan bahkan jalan ama kamu, yang mereka kenal sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa yang paling bermusuhan ama golongan mahasiswa brengsek kayak aku ini!”
“Tapi kamu 'kan beda dari mereka,” dalihnya, membela diri.
“Beda? Apa bedanya?” Aku ingin tahu apa yang dia ketahui mengenai diriku.
“Ya... banyak,” sahutnya, sambil terlihat berpikir. “Yang aku liat sih, kamu tuh sebetulnya cerdas. Terus... nggak narkoba, nggak jahat, cuma jahil, terus... ya pokoknya kamu masih terbilang baiklah jadi cowok. Punya sifat jujur, apa adanya, nggak jahat ama cewek,” rincinya kemudian.
“Ooh, gitu ya?” Ternyata aku terlihat baik juga, ya? Aku tersenyum padanya. “Makasih ya, udah punya pandangan sebaik itu ama aku.”
Aku suka sekali melihat dia kalau lagi tersipu begitu. Rupanya ia mendadak sadar kalau dirinya telah membuka rahasia perhatiannya terhadapku. Rona semu dadu yang merekah di pipinya, gerak-geriknya yang gugup dan salah tingkah, adalah pemandangan yang sangat langka dari gadis yang tak pernah terlihat canggung untuk tampil di forum apa pun ini. 
“Aku nggak nyangka, ternyata masih ada orang yang bisa ngeliat aku dari sisi yang positif. Aku kira... stempel cowok brengsek yang selama ini nempel di diriku udah nggak termaafkan. Tapi nggak taunya....” Kulirik dia... wah, ternyata dia malah asyik melamun. Maka kuletakkan sebutir es batu di punggung tangannya. Ia terkejut dan mengibaskan tangannya. Aku tertawa. Ia menyerbuku dengan cubitan di pinggang dan lenganku.
“Diajak ngomong malah ngelamun!” omelku. “Ngelamunin siapa, sih?”
“Ngelamunin kamu!” ia memencet hidungku dengan gemas.
Aku tertawa, sembari balas memencet hidungnya yang mungil bangir itu.
“Sebetulnya... kamu selama seminggu kemarin ke mana, sih?” tanyanya, di ujung canda kami.
“Ada aja di rumah.”
“Kok nggak kuliah?”
“Sengaja, biar kamu babak-belur dikerjain ama mereka-mereka itu.”
“Ih, jahatnya!” Ia melotot bulat. Aku tertawa. Dia tampak semakin cantik kalau lagi begitu. “Kamu emang betul-betul brengsek!” ia meninjui lenganku, bertubi-tubi. Tapi aku terus tertawa-tawa saja menerima serbuan tinjunya yang lunak.
Beberapa orang mahasiswa dan mahasiswi yang hendak ke kantin ini, mendadak putar arah begitu melihat ada kami di sini. Aku memerhatikan mereka.
“Wah, bakal tambah gawat nih urusannya!” ujar gadis yang duduk di sebelahku ini, khawatir.
Aku menolehnya. Untuk beberapa jenak mata kami berpagutan, saling menyelami. Namun ia akhirnya jatuh merunduk. Aku memerhatikan paras cantik yang semu dadu itu.
“Sekarang kita harus gimana menurut kamu?” tanyanya, tanpa mengangkat kepala.
“Mmm...!” aku mengulum sebutir es batu. “Ketua BEM minta saranku?”
“Jangan becanda kamu! Ini masalah serius, tau?”
“Aku tau,” anggukku. “Kamu minta saranku, 'kan?”
“Ini masalah kita! Bukan cuma masalahku!”
Aku tersenyum, menatapinya. Ia melotot, tapi lantas memalingkan muka. Aku jadi ingat pada nasihat seorang teman mengenai kodrat perempuan. Dia bilang: "Seorang perempuan, sehebat apa pun dia, kalau kau tahu titik yang tepat untuk menyentuhnya, maka kau akan mendapati dia sebagaimana layaknya seorang perempuan." Hmm, aku jadi ingin tahu, apa aku sudah menyentuhnya pada titik yang tepat itu?
“Tau nggak, kamu tuh tambah cantik kalo lagi marah-marah gitu,” cetusku, mengganggunya.
Ia menyedekapkan kedua lengannya dan memutar tubuh, memunggungiku. Aku tertawa senang. Kugelitiki lehernya. Ia membalik dan menatapku dengan mata melotot, tapi ia terlihat tidak benar-benar sedang marah. Wajahnya merah menyiratkan luapan rasa senang dalam ketersipuan.
“Cantiknya...!” kuelus pipinya. Ia menangkap tanganku.
“Kamu bisa diajak ngomong serius nggak, sih?”
“Ya, bisalah,” jawabku. “Tapi... boleh 'kan aku ngelus pipi kamu dulu?”
Ia menghela napas panjang, seraya melebarkan matanya.
“Boleh aja. Tapi jangan sekarang, dong!”
“Kalo gitu, seriusnya juga nggak sekarang, dong?”
“Kamu... iiiiih!”
Aku tertawa-tawa. Senang sekali aku bisa menggoda gadis galak, yang biasanya tak pernah kalah kalau berdebat ini.
“Iya, deh, hehehe...,” kataku akhirnya. “Apa sih yang perlu kita omongin, Cantik?”
Ia menatap lurus ke dalam mataku. Sepertinya ia belum yakin kalau aku sudah mulai serius.
“Soal gosip itu,” katanya, masih agak ragu.
“Ooh iya. Kita harus gimana? Gitu, 'kan?”
Ia mengangguk. “Terus-terang, aku nggak tau, aku harus gimana...?” ujarnya.
Aku meraih tangan kirinya dan menggenggamnya, lembut, seraya menatapnya. Ia menghindari tatapanku. Rupanya ia takut aku menemukan sesuatu di dalam matanya itu. Tapi itu sudah sangat terlambat. Aku sudah mengetahuinya sejak tadi.
“Gimana kalau kita... iyakan aja?” putusku.
Ia terlihat agak kaget dan menatapku dengan mata membelalak. “Kamu...?” Ia tak meneruskan kata-katanya.
Aku meremas jemarinya dan tersenyum. “Terus terang, sebetulnya aku setuju ama gosip itu,” ujarku. “Cuma sayangnya... kenapa gosip itu bukan bersumber dari aku, melainkan dari....” Kutatap ia. Dan ia seketika tahu kalau aku sedang menjebaknya. Ia terperangah.
“Aduh, kamu tuh emang brengsek, ya! Kamu menjebakku!” luapnya, dengan wajah memerah. "Dari mana kamu tau kalo...?" ia menelan sisa pertanyaannya. Tapi aku tahu apa yang ingin ditanyakannya. Maka kupenuhi keingintahuannya itu dengan mengungkap rahasianya sekalian.
“Sedetik seudah kamu cerita ama Rosye kalo kita abis nonton di Metropole, dia telepon aku buat cari tau kebenarannya,” ungkapku. "Dan kita semua taulah kalo Rosye itu bandar gosip, jadi, ya... kupikir, ayolah kita main tembak-menembak lewat keahlian Rosye bergosip."
   Dengan dua tangan jemarinya kugenggam. Ia membalas genggamanku dengan hangat. Tapi wajahnya tetap dipenuhi rona merah, dan senyumnya tersipu.
“Aku tau, aku berutang satu langkah ama kamu,” kataku, pelan, serius. “Dan sekarang juga akan aku bayar utang itu.”
Dia menatap langsung ke dalam mataku. Ada yang gemetar di dalam sana.
“Kalo kamu memang mau menerima cowok brengsek ini di hati kamu... aku janji akan jadi cowok terbaik buat kamu,” ikrarku, jelas, tegas, tenang. "Kita tunjukin ke mereka, bahwa Ketua BEM mereka nggak keliru karena memilih cowok yang katanya brengsek ini buat jadi pendampingnya."
Aku melihat kemeriahan pasar malam di dalam matanya. Ia menggigit bibir, gerak-geriknya sangat indah dalam ketersipuan dan malu-malu begitu.
“Dan kamu... udah tau... apa jawabanku, 'kan?” bisiknya, menggeletar.
Kantin di sudut kampus ini sepi, dan memang selalu begitu keadaannya, setiap hari, setiap kami singgahi....
*****


Jakarta, 27 September 1983
Telah diterbitkan sebagai "Percikan"
pada Majalah Gadis No. 12, 30 April-9 Mei 1984
di bawah nama: M. H. Thamrin Mahesarani.

Revisi terakhir: 24 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.