25 Januari 2018

Cerpen: Impian Kecil “Si Cantik” Arini

Bagi perempuan, karunia terbesar yang paling disukainya ialah kecantikannya. Tapi kalau boleh minta tambah, sekalian body yang seksi – lebih bagus lagi kalau dikasih otak yang ‘encer’ juga, dan dilengkapi dengan kepribadian yang elok. Sempurna sudah. Cuma biasanya, maunya sih tak hanya sampai di situ. Jadi, alangkah indahnya kalau akhirnya juga bisa menikah dengan lelaki idaman yang tampan, dan kemudian hidup di dalam rumah tangga yang bahagia, dengan kekayaan yang berlimpah, serta punya anak-anak yang cakep, pintar, dan patuh pada orangtua. Masih kurang? Yaaa bukannya mau kemaruk sih, tapi kalau sesudah mati nanti bisa masuk surga juga, itu pasti jadi asyik banget. Perfect!
   Kebangetan? Mungkin. Tapi bukankah semua orang maunya juga begitu. Lha, namanya juga impian. Hanya saja, nyatanya, bahkan sekadar impian kecil pun seringkali sulit untuk bisa diraih. Selalu ada saja yang membuat impian itu jadi sukar – bahkan tidak bisa – dicapai. Begitu pula dengan impian kecil – Si Cantik – Arini. Padahal dia cuma ingin agar kecantikannya mendapat pengakuan, yaitu dengan ditampilkannya potret dirinya di media massa sebagai seorang gadis cantik – yang patut dipuji kecantikannya. Dan tentunya, bila hal itu bisa terwujud, mestinya bukan cuma sebagai suatu bentuk pengakuan melainkan juga sebagai prestasi. Sebab di antara sekian banyak gadis yang cantik, dialah yang terpilih untuk diekspose ke publik.
   Langkah menuju perwujudan impiannya itu sudah dijalaninya. Telah tuntas dilakoninya. Kini hanya tinggal menunggu waktu dimana impian itu benar-benar mewujud, dan wajahnya yang cantik ditampilkan di media massa – sebagai perwajahan sebuah majalah remaja putri paling terkenal. Dan sementara menunggu ‘hari besarnya’ itu, setiap hari ia mengunggah satu demi satu fotonya – hasil pemotretan di studio majalah itu, yang cukup banyak jumlahnya – di akun-akun media sosial miliknya. Makanya, tiap malam ia memeriksa kumpulan foto itu di komputer sabaknya (tablet), serta memilih foto mana yang akan diunggahnya besok pagi sebelum berangkat kuliah, supaya teman-temannya di media sosial sudah mendapat suguhan foto terbarunya ketika membuka media sosialnya pada pagi hari. Perempuan mana sih yang tak suka mengaktualisasikan dirinya?
   Namun sore ini, Arini punya impian kecil yang lain. Impian yang ia yakin akan terwujud sesuai harapannya, yaitu mendapat pujian dari Andhika – pemuda yang dicintainya. Andhika pasti akan terkagum-kagum kalau melihat foto-foto ini nanti, ujar gadis itu, di hati. Dan waktu dia nanti akhirnya sampai pada foto yang ini, ia menatap pada foto terbaik dari kumpulan foto yang ada di komputer sabaknya itu – dan seulas senyum cantik mengembang di bibirnya yang merah ranum, dia pasti akan terpesona seperti melihat bidadari yang menjelma nyata di hadapannya. Ah haha... ia jadi tersipu sendiri. Merasa jengah pada harapannya yang terlalu muluk. Namun khayalannya terus melanglang, membentangkan fatamorgana yang terasa amat nyata baginya.
   Nanti... kalau Majalah Remaja Cantik itu terbit, dan Andhika melihat salah satu foto dari foto-foto ini yang jadi covernya, dia pasti akan kaget dan tak percaya. Seperti bermimpi! Hei, cover majalah itu kok kayak fotonya Arini? Dia lalu mengamati sampul majalah itu. Ya Allah, itu memang fotonya Arini! Ariniku! Ya Allah...! Ia terpesona pada foto gadis cantik yang seolah tengah menatap dan tersenyum kepadanya itu. Senyum cantik gadis yang dicintainya, yang selalu saja menggetarkan hatinya itu. Oh, Arini...! Cintaku... kekasihku... bidadariku...!
   Arini senyum-senyum sendiri, sambil jemarinya terus asyik menggulir-gulirkan foto-foto di layar komputer sabaknya. Hmm... dimana ya Andhika nanti akan melihat ‘majalahku’ itu? Ia meneruskan lambungan khayalannya.
   Mmm, di mana, ya? Ah, iya, di Gaulmart langganannya! Di sana 'kan ada dijual Majalah Remaja Cantik itu. Arini segera merancang skenario lamunannya. Waktu itu... Andhika lagi belanja di situ. Nah, pas dia mau bayar, di display majalah yang ada di dekat meja kasir, ia melihat ‘majalahku’ itu. Waktu melihat selintas ‘majalahku’ itu, dia hanya terpikir bahwa aku berlangganan majalah itu, dan... karena dia sayang sama aku, maka dia bertanya-tanya apa aku udah punya majalah yang baru terbit itu? Tapi... tiba-tiba, dia merasa ada yang aneh. Ya, majalah itu! Cepat ia melihat lagi ke majalah itu! Masya Allah! Dia kaget dengan mata membelalak.
   Bukannya itu Arini? Keraguan membuat Andhika melangkah mendekati display majalah itu dan mengambil Majalah Remaja Cantik itu. Ya Allah... ini memang Arini. Ini memang foto Arini!
   “Edisi terbaru tuh, Bro. Resminya baru terbit hari Senin, lusa,” kata pemuda yang bertugas sebagai kasir, yang memang selalu menyebut semua pelanggan sebayanya dengan “Bro”.
   Andhika menolehnya, lalu menunjukkan cover ‘majalahku’ pada si kasir. “Menurut lu, ini cewek cantik nggak, Bro?”
   Si Kasir melihat selintas pada majalah itu, lalu sambil sibuk melayani pelanggan yang datang membayar ia bilang, “Ya pasti cantiklah. Cover majalah Cantik 'kan emang selalu cewek cantik, Bro. Dan bukan cuma cantik, tapi juga berprestasi!”
   Andhika langsung tersenyum bangga. Ariniku memang cantik, katanya di hati. Cantik dan juara ngaji. “Lu ngerasa kenal nggak ama ini cewek, Bro?” tanyanya kemudian.
   Si Kasir memperhatikan baik-baik sampul ‘majalahku’ yang dipegang Andhika. Mukanya agak berkerut. “Kayaknya sih... gue pernah liat tuh cewek. Pelanggan sini kali, ya?”
   “Dia ini 
'kan pacar gue, Bro! Arini!” singkap Andhika, memproklamasikan dengan penuh rasa kebanggaan.
   Si Kasir menoleh kaget. “Hah? Serius lu?”
   “Serius!” angguk Andhika, tegas. “Namanya Arini Ayudya. Dia ini qori’ah nomer satu di kampus gue.” Dirobeknya kemasan plastik ‘majalahku’ itu, “Kalo nggak percaya, nih liat nama yang ditulis di sini,” lalu dibukanya bagian daftar isi majalah itu, dan menunjukkan keterangan yang tertera di salah sudut bawah daftar isi majalah itu: Cover: Arini Ayudya, Juara Tilawatil Quran Universitas Putera Bangsa. Si Kasir mengambil majalah itu, membaca keterangan itu dengan penasaran.
   “Wah, mujur banget lu, Bro, bisa dapet pacar yang kayak gini,” komentarnya, lalu menutup ‘majalahku’ dan mengamati fotoku pada sampulnya, lantas geleng-geleng kepala sambil menghela napas dalam, “Cuma cowok mujur yang bisa dapetin cewek kayak gini, Bro. Udah cantik, berprestasi, solehah, dan sebentar lagi pasti bakal jadi model terkenal.”
   “Siapa sih, Bro?” tanya salah seorang pemuda yang sedang antri mau bayar.
   “Nih, ceweknya dia,” Si Kasir memberikan ‘majalahku’ pada pemuda itu seraya menunjuk pada Andhika dengan muka.
   Pemuda itu menerima ‘majalahku’ dan melihat sampulnya, “Wow, bening banget, nih!” komentar seketika meloncat dari mulutnya.
   “Gila, cakep banget tuh cewek!” seru pemuda yang lain, seraya keluar dari antrian dan bergabung dengan Si Pemuda yang memegang ‘majalahku’, dan ikut mengamati wajahku pada sampul majalah itu. “Siapa sih dia, Bro?”
   “Pacarnya dia, tuh,” jawab Si Pemuda yang memegang ‘majalahku’ sambil menunjuk pada Andhika dengan muka, membuat Andhika serta-merta serasa menjadi juara dunia.
   Sebentar saja semua pemuda dalam antrian segera meninggalkan tempatnya dan kemudian bergabung dengan kedua pemuda itu, untuk melihat ‘majalahku’ dan lantas ramai memuji-muji kecantikanku. Sementara para gadis yang ada di situ, seperti biasanya, hanya melihat sebentar ke fotoku pada sampul ‘majalahku’ itu, lalu membuang muka dengan perasaan iri. Perempuan mana sih yang tak mencemburui kecantikan perempuan lain?
   “Woi, udah dong, woi!” seru Andhika akhirnya, karena melihat ‘majalahku’ jadi rebutan para pemuda yang penasaran ingin melihat fotoku pada sampulnya, “Lecek tuh ntar majalah cewek gue! Beli aja majalahnya kalo mau puas ngeliatin foto cewek gue.”
   Salah satu pemuda segera merespons usulan Andhika itu. “Gue mau dong, Bro, majalah yang covernya cewek cakep ini!” katanya pada Si Kasir, seraya mengacungkan ‘majalahku’ yang lagi dikuasainya. Yang lain langsung menirunya, dan semua pemuda yang berkerumun buat melihat wajah cantikku di sampul majalah itu buru-buru melakukan hal yang sama, sehingga terkesan mereka berebutan karena kuatir kehabisan.
   “Oke, oke, oke, tenang, Bro semua!” kata Si Kasir, mengangkat kedua tangannya seperti DJ yang lagi menyemangati audiensnya, menenangkan, “Semua bakal kebagian, kok. Masih banyak stoknya di gudang.”
   Dan semua merasa lega. Namun tak ada yang sebahagia Andhika pada saat itu. Bagaimana tidak? Di antara semua pemuda yang ada di situ, yang mengagumi dan memuja kecantikanku, hanya dia yang beruntung bisa mendapatkan cintaku – Si Cantik itu.
   “Ehm, ehm,” suara deheman mengusik Arini dari lambungan lamunannya. “Hayo, lagi ngelamunin siapa? Kok pake senyum-senyum segala gitu?” goda Mama.
   Arini menoleh mamanya dan tersipu. “Mau tau aja, deh,” ujarnya. “Ada apa, Ma?”
   “Andhika udah datang, tuh,” beritahu Mama, dan menambahkan sebelum beranjak meninggalkan pintu kamar anak gadisnya itu, “Buruan, ya. Nanti kalo dia dikeroyok nyamuk kamu bisa nggak kebagian, lho.”
   Arini meletakkan komputer sabaknya, kemudian bergegas turun dari tempat tidur, meraih jilbab di sandaran kursi meja belajarnya, lalu mengenakannya sambil berjalan ke arah meja riasnya. Setelah mematut-matut diri sejenak, puas, ia kembali ke pembaringan, mengambil komputer sabaknya dan lantas beranjak keluar dari kamarnya.
   Andhika lagi membungkuk mengamati ikan-ikan di dalam akuarium ketika Arini keluar.
   “Assalammu alaykum,” salam gadis itu, seraya menuju ke tempat duduk. Diletakkannya komputer sabaknya di atas meja, dalam keadaan hidup dan sedang menampilkan foto close up dirinya yang lagi tersenyum cantik.
   Andhika terusik dari keasyikannya, menoleh ke arah Arini sambil membalas salamnya, “Wa alaykum salam wa rohmatullah,” lalu menegakkan tubuh, dan melangkah ke arah tempat duduk, kemudian duduk di hadapan Arini – pada seberang meja.
   “Ikan kamu masih pada hidup, 'kan?” selidik Arini, begitu Andhika duduk.
   “Alhamdulillah, mereka semua baik-baik aja. Sehat, cantik, dan tetap lincah kayak kamu,” ujar Andhika, seraya kemudian tersenyum. “Dan mereka kirim salam buat kamu.”
   Arini tertawa. “Wa alaykum salam,” katanya dalam tawa. “Dasar kamu...!”
   Beberapa bulan lalu, ketika Andhika ulang tahun, Arini menghadiahinya akuarium kecil berikut ikan-ikannya buat ditaruh di kamarnya. Dan ketika itu, Arini berpesan, “Pelihara ikan-ikan ini baik-baik ya, sebagai bukti kalo kamu sayang sama aku. Tapi kalo ikan-ikan ini sampai pada mati, berarti....”
   “Aku janji!” potong Andhika buru-buru, “Aku akan pelihara ikan-ikan ini baik-baik, supaya tetap sehat, cantik, dan lincah kayak kamu.”
   Sebetulnya sudah lama Arini ingin memberinya akuarium berikut ikan-ikannya begitu, tapi baru terlaksana ketika Andhika berulangtahun kemarin itu. Soalnya sudah lama ia perhatikan, Andhika sering mengamati ikan-ikan di akuariumnya, kalau lagi ditinggalkan ke dalam buat bikin minum.
   Andhika melihat ke komputer sabak Arini yang tergeletak di atas meja, “Wah, cantik banget nih foto kamu,” komentarnya, seraya mengulurkan tangan hendak mengambilnya, “Boleh aku liat?” tanyanya, minta izin.
   Arini mengangguk bersama senyum, lalu bergerak bangun dari duduk, “Aku buatin minum dulu, ya?” pamitnya, sebelum beranjak.
   “Iya, makasih,” angguk Andhika, seraya lalu mengalihkan perhatian pada komputer sabak Arini di tangannya.
   Arini tersenyum melihat pemuda yang dicintainya itu segera asyik dengan foto-foto dirinya di komputer sabaknya, lalu beranjak, masuk ke ruang dalam untuk membuatkan minum.
   Andhika yang biasanya asyik mengamati ikan-ikan di akuarium kalau lagi ditinggal sendirian, kali ini tetap duduk di tempatnya dan asyik menggulir-gulirkan foto-foto Arini di komputer sabak milik gadis yang dicintainya itu. Bahkan ia tetap asyik meski Arini sudah kembali dan meletakkan teh hangat setengah manis kesukaannya di meja, di hadapannya. Dan Arini pun tak merasa diabaikan atau tersinggung oleh keasyikan Andhika pada foto-fotonya di komputer sabaknya itu.
   “Gimana? Bagus nggak?” usik Arini akhirnya, setelah menunggu beberapa waktu dan Andhika terus juga asyik dengan foto-foto di komputer sabak itu.
   Andhika melihat sekilas pada Arini, lalu kembali pada layar komputer sabak, “Bagus-bagus banget,” sahutnya, nyaris tak acuh. “Emang kamu foto di studio mana sih ini?”
   Arini cuma senyum saja. Sesuatu yang indah mengisi dadanya, membuatnya bahagia.
   “Hei, wah, keren banget nih!” seru Andhika ketika melihat foto terbaik dari sekian foto itu. “Weis, kamu kayak foto model aja, deh!” komentarnya.
   Arini mengulum senyum. “Tapi kalo sama yang aslinya ini kerenan mana?” Ia menunjuk dirinya sendiri.
   Andhika mengalihkan perhatiannya pada Arini, yang mengulum senyum bersama tatapan menggoda padanya, lalu dengan enteng menjawab, “Ya aku pasti milih yang aslinyalah. Nggak ada duanya deh kalo yang itu, sih,” menunjuk Arini dengan gerakan muka.
   Arini jadi tersenyum senang dan tersipu sekaligus dibuatnya.
   “Nah, apalagi kalo lagi begitu, tuh,” dengan gembira Andhika terus menggoda Arini, “uuuh, rasanya aku ini cowok paling beruntung di dunia deh bisa dapetin kamu.”
   Arini makin tersipu-sipu, tapi tertawa senang, “Dasar perayu...!” ujarnya, “Diminum dulu tuh tehnya, ntar keburu dingin, deh.”
   Sambil terus mengamati foto terbaik Arini di komputer sabak, Andhika meraih cangkir teh minumnya, lalu mereguk isinya. “Hmm, pas manisnya,” komentarnya, lalu mereguk lagi teh setengah manis itu.
   “Yang pas manisnya yang mana, nih?” tanya Arini, mengharap pujian, “Tehnya apa yang bikin?”
   “Tehnya, dong,” sahut Andhika, membuat Arini segera berpura-pura cemberut kecewa, tapi Andhika lalu melanjutkan, “Soalnya yang bikin tehnya manis banget, dan... bikin tehnya ini pasti pake cinta banget.”
   Arini jadi ternganga, takjub, mendapat pujian sehebat itu, tapi lalu tertawa. Senang sekali. “Huuu, dasar perayu gombal,” ungkapnya, di antara tawa bahagianya.
   “Sebetulnya aku tuh bukan perayu,” tangkis Andhika, “Tapi ya gimana, ya? Soalnya kamu tuh emang cantik banget, sih. Jadi... biar aku ngomong apa adanya juga, ya tetep aja dikira ngerayu. Susah, 'kan?”
   Arini tertawa-tawa senang, sambil geleng-geleng kepala. Yang disukainya dari Andhika ialah, dia selalu punya banyak cara buat menyenangkan hatinya, sehingga ia selalu merasa beruntung telah mencintainya – dan memperoleh balasan cinta yang indah darinya.
   “Aku mau foto yang ini, dong,” pinta Andhika, seraya menunjukkan foto terbaik Arini pada komputer sabak itu, “Ntar kirimin ke WA aku, ya? Mau buat wallpaper hp aku.”
   Arini mengangguk. “Iya. Tapi... nggak apa-apa tuh, foto aku dipasang di wallpaper hp kamu gitu? Ntar cewek-cewek yang suka ama kamu bisa pada mundur, lho,” godanya kemudian.
   “Justru itu!” Andhika menegaskan. “Kalo ada foto kamu yang kayak artis tercantik di segala zaman ini di wallpaper hp aku, para penggemar itu jadi pada bubar. Abis... ngerasa nggak level banget, sih.”
   “Hayah, gombalnya nggak abis-abis!” Arini tertawa senang. “Emang boleh kalo aku mau jadi artis?” pancingnya kemudian, di ujung tawanya. “Yaaa... paling nggak jadi model gitulah.”
   “Emang belum puas jadi model di facebook? 'Kan udah tiap pagi tuh kamu ngunggahin foto terbaru kamu di sana,” tanggap Andhika, bercanda.
   “Aaah, aku serius, nih...!” rengek Arini.
   Andhika memandang Arini, dan menangkap maksud gadis itu. “Kamu serius?”
   Arini mengangguk, tapi sirat matanya memperlihatkan kegamangan hatinya.
   “Buat apa?” Andhika jadi serius, dan terlihat sekali rasa kurang setujunya.
   “Yaaa...,” Arini hati-hati memilih alasan, “buat mengaktualisasikan diri, dan... kalo mungkin ya buat profesi sambilan. Supaya aku bisa nabung kalo nanti mau ngelanjutin ke pasca sarjana.”
   Andhika terdiam, meletakkan komputer sabak ke atas meja. Air mukanya berubah tak jernih lagi. Dan itu membuat hati Arini jadi serasa berlubang. Dan semangatnya tercemplung ke sana. Soalnya ia tahu, Andhika paling tidak suka dengan cara hidup yang dianggapnya ‘menyerempet bahaya’ sebagai orang Islam. Dia memang muslim yang taat. Itu sebabnya, selama mereka berpacaran, mereka belum pernah bersentuhan langsung – kulit dengan kulit – secara sengaja. Syar’i sekali tingkah lakunya.
   “Nggak boleh, ya?” Arini minta kepastian, dengan hati terasa di ujung tanduk.
   Andhika menghela napas dalam seraya menyandar. Terlihat sekali kalau ia merasa terjebak di dalam masalah yang tak disukainya. “Kalo menurut aku, sih...,” suaranya akhirnya terdengar, mengambang, “mendingan jangan.”
   Setelah itu, hening melibas suasana. Menceraikan sepasang kekasih itu pada kepompong diri dan pikirannya masing-masing. Arini tergugu oleh rasa kecewa yang membelah hatinya, dan perasaannya terjerumus dalam rasa kuatir yang pekat. Sementara Andhika terbungkam karena merasa dirinya tiba-tiba terperosok dalam dilema, yang kemudian bergelut hebat di dadanya. Dan di tengah pergulatan itu, ia harus pula berusaha mendapatkan alasan yang paling adil, agar Arini tak merasa dikekang atau dizalimi oleh rasa keberatannya terhadap keinginannya itu.
   “Kamu 'kan tau... gimana citra kalangan selebriti akhir-akhir ini,” cetus Andhika akhirnya, setelah ‘serasa berabad-abad’ membiarkan kebisuan membentang di antara mereka. “Aku kuatir... citra nggak bersih itu akan juga mengenai kamu.”
   Arini tak bereaksi, hanya memandang Andhika dengan tatapan mengawang.
   “Dan kalo sampai kejadian kayak begitu...,” Andhika menghela napas dalam, “keluarga kamu akan juga kena imbasnya, lho. Juga aku.”
   Itu bagaikan vonis mati bagi pesakitan. Arini terperenyak di kursinya. Runduk menggigit bibir dengan tubuh mendadak terasa lemah dan demam. Ia bahkan tak sanggup untuk menangis tatkala menyadari bahwa impian indahnya terbakar dan runtuh jadi abu. Ya Allah, ampuuun...! Dan itu semua karena Andhika! Ya, karena pemuda yang dicintainya itu telah membukakan matanya pada risiko yang harus siap dihadapinya, di ujung jalan bertabur ratna mutu manikam menuju impian indahnya itu. Dan ia telah terlanjur melangkah masuk ke sana!
   Stigma apa yang pertama akan mengenaiku kalau majalah itu 
nanti terbit, dengan fotoku sebagai gambar sampulnya? Bahwa Arini Si Qoriah telah menyimpang dari jalan kesalehan? Bahwa gemerlap popularitas telah menjerumuskanku pada jalan para selebriti? Dan sebentar lagi akan ada yang mengira bahwa aku telah menjadi ‘barang dagangan’ juga, yang hidup dalam lingkungan dunia gemerlapan, pesta-pesta, narkoba, dan... naudzubillah min dzalik, pergaulan bebas, untuk kemudian menjadikan kehormatan sebagai komoditas. Astaghfirullah...!
   Ampun, ya Allah...! Apa yang harus aku perbuat untuk membatalkan keterlanjuran ini? Arini disudutkan oleh rasa takut yang mencecarnya dari segala arah. Dan ia harus menghadapinya sendirian. Karena ia tak berani mengungkapkan yang sebenarnya kepada Andhika, sedangkan keluarganya, sejak awal memang sudah mengingatkan, agar ia mempertimbangkan baik-baik segala sesuatunya, sebelum ia mengambil keputusan menerima tawaran untuk menjadi cover story majalah itu.
   Hari-hari kemudian berlalu menuju saat kiamat bagi Arini. Bila majalah dengan cover foto dirinya itu terbit, maka itulah kiamat. Namun hidupnya sendiri, rasanya sudah tamat sejak malam Minggu lalu. Ya, karena setelah malam itu, ia berubah seratus delapan puluh derajat. Ia bukan lagi Arini yang ceria, yang murah senyum, dan yang selalu menawarkan kehangatan sikap kepada semua orang. Kini, ia adalah Arini yang pemuram, pembisu, dan selalu menyendiri. Tentu saja Andhika jadi kuatir dan selalu bertanya, ada apa? Kamu kenapa? Juga teman-temannya. Tapi Arini hanya menggeleng dan menggeleng. Tak pernah keluar sepatah kata pun dari bibirnya yang terkatup rapat.
   Jumat siang, ketika Arini lagi menuju ke kantin, Andhika mencegatnya. Arini menghentikan langkah dan diam seperti patung, kepalanya tetap runduk, tak sekalipun tatapannya terangkat untuk melihat siapa yang mencegatnya. Karena ia memang sudah tahu siapa yang berdiri di hadapannya. Cara berdirinya, aroma parfumnya, Arini sudah kenal betul.
   “Kamu ini kenapa sih, Rin? Kok mendadak jadi aneh begini?” cetus Andhika.
   Arini tetap mematung, runduk, diam, tenang, tak terusik.
   Andhika menghela napas dalam. “Kamu marah sama aku, ya? Iya, Rin? Karena aku keberatan kamu jadi model? Iya, karena itu?”
   Arini memejam, menahankan rasa perih yang menoreh hatinya ketika mendengar Andhika menyebut kata ‘model’. Kata itu seperti cuka yang disiramkan pada lukanya yang menganga. Ia menggeleng lirih, sebagai jawaban atas pertanyaan Andhika dan juga karena rasa sakit itu.
   “Ya abisnya kenapa, dong? Kamu... aduh, kamu bikin aku jadi tambah pusing deh, Rin!” ujar Andhika, kesal. “Kamu 'kan tau aku lagi nyiapin acara Isra Mi’raj buat di kampus bulan depan. Jadi, tolong deh, jangan bikin aku jadi tambah pusing. Bisa kacau nanti acara itu.”
   “Aku nggak apa-apa, kok. Kamu urusin aja acara itu, nggak usah mikirin aku,” sahut Arini, tetap dalam runduk.
   “Ya nggak bisa gitu dong, Rin,” ujar Andhika, “Kamu tuh penting buat aku. Jadi, nggak mungkinlah aku nggak mikirin kamu.”
   Jantung Arini langsung gemetar mendengar itu. “Ya, tapi setelah majalah itu terbit, aku pasti nggak akan penting lagi buat kamu,” katanya, di hati. “Malahan mungkin... kamu nanti akan mencampakkan aku, karena aku bisa jadi aib buat kamu....” Hatinya terasa disayat-sayat. “Maafkan aku, Dhika...,” tangisnya di hati. “Ampuni aku, ya Allah....”
   Sikap diam mematung gadis yang dicintainya itu, akhirnya membuat Andhika jadi putus asa. Ia pasrah. Menyerah. Karena ia tak tahu harus bagaimana.
   Malam Minggu, sejak sehabis Maghrib hingga usai Isya Arini terus mengurung diri di kamar, membaca Al Quran dan menghapal beberapa surat pendek. Ia baru bangkit dari sajadah dan menutup Al Quran ketika Mama memberitahukan bahwa Andhika sudah datang. Terlihat sekali sikap enggannya, sehingga Mama menduga kalau anak gadisnya itu lagi cekcok dengan pacarnya, namun Mama tak mau banyak cincong. Maka setelah memberitahu soal kedatangan Andhika itu, ia segera pergi lagi. Dan Arini memang sangat berterimakasih atas sikap mamanya itu. Sebab kalau mamanya banyak tanya, ia pasti akan makin merasa tertekan dan bisa meledak menangis. Soalnya, hari kiamat itu sudah akan tiba. Lusa.
   Ya Allah, maafkan aku, bisik hati gadis itu. Maafkan aku karena begini putus asa.... Ia menaruh Al Quran di atas bantalnya, melipat sajadah dan menyampirkannya di sandaran kursi meja belajarnya, lalu melepas mukenanya. Semuanya ia lakukan dengan pelan, cenderung rapi, namun sebenarnya sangat berat oleh rasa enggan. Kalau boleh memilih, ia pasti lebih suka untuk tidak menemui Andhika. Sebab... ya kiamatnya bisa saja terjadi lebih cepat.
   Tadi siang ia dikabari bahwa majalah yang memuat cover story mengenai dirinya akan terbit awal minggu depan. Dan setelah ia cek iklannya di koran Kompas, tadi sore sepulang kuliah, ia langsung terduduk dengan lunglai dan mendadak merasa demam. Semangatnya punah. Inna lillahi wa inna ilahi rojiuuunnn...! rintihnya, putus asa. Majalah itu terbit hari Senin. Dengan cover foto setengah badan dirinya, sedang senyum tersipu. Sangat cantik dan menggemaskan!
   Seminggu yang lalu, ia pernah membayangkan bagaimana foto dirinya akan terlihat begitu memikat di sampul majalah itu. Cantik sekali! Semua orang akan mengatakan itu, mengakui itu! Dan itulah yang diimpikannya akan terjadi, sebelum... ya, sebelum Andhika menjagakannya dari impian indah itu dengan kenyataan yang bakal dihadapinya, apabila dirinya telah terekspose ke publik sebagai seorang model. Selebriti pendatang baru. Dan selebriti itu... ah, sudahlah!
   Arini mendadak menghentikan langkah di ambang pintu penghubung antara ruang tengah dan ruang tamu, wajahnya seketika menjadi pucat dan matanya terbelalak melihat ke arah Andhika yang duduk merunduk di tempat ia biasanya duduk. Andhika sedang merunduk pada majalah yang tergeletak di atas meja, di hadapannya. Majalah yang sampulnya menampilkan seorang gadis cantik berhijab, sedang senyum tersipu. Cantik sekali!
   Kiamat sudah...!
   Dengan langkah goyah Arini melangkah ke arah tempatnya biasa duduk bila diapeli Andhika. Sebenarnya ia lebih ingin segera balik kanan dan lari masuk ke kamarnya, menutup pintu dan... biarlah semuanya terjadi seperti yang ditakutkannya. Tapi tidak... apa pun yang bakal terjadi, ini saatnya untuk mulai berani menghadapinya dengan konsekuen. Que sera sera.
   “Assalammu alaykum...!” dengan susah payah, karena kesedihan telah membuat kerongkongannya terasa kaku dan tersumbat, Arini mengucapkan salam itu. Dan ia sendiri jadi tak mengenali suara yang keluar dari mulutnya itu.
   Seperti tersentak, Andhika mengangkat kepala, dan matanya langsung menerjang Arini. Gadis yang dicintainya itu melangkah tanpa melihat kepadanya, dan duduk di hadapannya, pada seberang meja, merunduk.
   “Wa alaykum salam,” sahut Andhika, tak ikhlas. Matanya terus merajam Arini, yang tetap kelu dalam runduk dalam. Sambil menghela napas diraihnya majalah di atas meja dan lantas ditaruhnya di depan Arini. “Jadi, semua kelakuan aneh kamu selama ini... itu karena ini, ya?” katanya, lebih bernada mendakwa.
   Arini menghela napas. Tatapannya hinggap pada majalah yang masih terbungkus plastik di hadapannya itu. Gadis cantik berhijab yang sedang senyum tersipu itu menatap kepadanya dengan tatapan yang menyiratkan perasaan malu-malunya. Ya Allah... alangkah polosnya dia sebenarnya, bisik hatinya, menilai dirinya sendiri pada foto itu. Namun sebentar lagi, citra itu akan mengubah pandangan orang tentangnya. Inna lillahi....
   Arini memberanikan diri mengangkat pandangan pada Andhika. Dan seketika itu pula dahinya berkerut. Ia melihat mata yang tak dikenalnya. Tatapan yang asing. Itu bukan Andhika, bisik hatinya. Aku nggak kenal dia. Oh, apa itu memang bukan lagi dia?
   “Aku nggak tau harus gimana,” cetus Andhika, terlihat jelas menahan marah. “Tapi aku udah peringatkan kamu soal ini, 'kan? Dan... ah, udahlah!” Ia bangkit dengan cepat dari duduknya dan lantas melangkah bergegas keluar. “Assalammu alaykum!”
   Dengan pikiran mengawang, Arini menjawab pelan, “Wa alaykum salam wa rohmatullahi wa barokatuh....” Perasaannya hampa. Tak jelas apa yang dirasakannya. Namun saat derum mesin sepeda motor Andhika terdengar, tiba-tiba ia tersadar bahwa semuanya sudah berakhir. Inilah awal dari semua bencana yang akan segera berdatangan, kata hatinya, giris. Ia menghela napas dalam. Ya sudahlah. Bismillah....
   Kepasrahan telah menyibakkan kubah mendung yang mengungkung hati dan perasaannya. Di hadapannya terpampang kenyataan – pahit – yang telah ikhlas diterimanya sebagai bagian dari jalan hidupnya. Dan tidak ada lagi Andhika di sana – sepertinya. Sayang sekali. Ia menghela napas sepenuh dada. Ada yang terasa kosong. Ruang yang selama ini terasa amat hidup dengan berbagai rasa dan impian, kini menganga tanpa apa-apa. Tak ada yang tersisa.
   Mama duduk diam-diam di kursi sebelah tempat duduk Arini. Diraihnya majalah yang tergeletak di atas meja, lalu diamatinya sampulnya dengan penuh kekaguman, “Masya Allah cantiknya anakku...!” ujarnya.
   Itu menjagakan Arini dari pusaran pikirannya. Ia mengerjap dan menoleh Mama. “Apa, Ma?”
   Mama menolehnya, tersenyum, lalu menunjuk pada majalah yang dipegangnya. “Kalo kamu mau tau bagaimana cantiknya kamu, lihat ini.”
   Arini memandang foto dirinya pada sampul majalah itu, lalu tersenyum. Namun senyumnya terlihat hambar. “Iya, Ma.”
   “Jadi, masalahnya apa?” tanya Mama.
   “Maksudnya, Ma?” Arini tak paham.
  “Andhika marah karena apa?” Mama menjelaskan maksudnya.
   Arini terdiam beberapa waktu, menimbang-nimbang apa yang mesti dikatakannya. Mama menunggunya dengan sabar.
   “Menurut Mama, apa yang akan terjadi setelah Arin tampil di majalah itu?” cetus Arini akhirnya, ingin tahu apa pandangan Mama mengenai apa yang bakal menimpanya nanti.
   “Maksudnya?” ganti Mama yang tak paham dengan maksud pertanyaan anaknya itu.
   “Mama 'kan tau, gimana citra selebritis akhir-akhir ini. Dan Arin 'kan mulai masuk ke wilayah itu,” jelas Arini.
   Mama memandang foto anak gadisnya pada sampul majalah itu, tersenyum, lalu meletakkan majalah itu ke meja. Digesernya posisi duduknya, sehingga agak menghadap kepada Arini. “Menurut Mama, esensi perbuatan itu tergantung pada niatnya. Jadi, niat kamulah yang akan menjadikan hasil dari setiap apa yang kamu lakukan. Nah, sekarang pertanyaannya, apa niat kamu waktu menerima tawaran buat jadi cover story di majalah itu?”
   “Ya...,” Arini berpikir, mengingat apa niatnya waktu itu, “waktu itu sih... niatnya cuma pingin profil ama catatan prestasiku ditulis di majalah itu, dan mukaku dipasang di sampulnya. Udah sih, cuma itu,” ungkapnya kemudian.
   “Hmm... begitu,” Mama mengangguk-angguk. “Tapi menurut firasat Mama, setelah cover story kamu dimuat di majalah itu, dalam waktu dekat akan banyak tawaran datang ke kamu untuk jadi model. Nah, kalo itu nanti terjadi, kamu mau bagaimana?”
   Arini terdiam. Tapi lalu menggeleng. “Arin belum tau mau gimana-gimana, Ma,” katanya.
   Mama memegang pangkal lengan Arini. “Kalo begitu, pikirkan aja dulu maunya kamu gimana. Nanti baru kita bahas lagi. Begitu, Anak Mama yang Cantik?”
   Arini mengangguk. “Iya, Ma,” ujarnya. “Makasih ya, Ma.”
   Mama mengusap-usap pangkal lengan Arini, mengangguk bersama senyum, lalu bangun dari duduknya dan beranjak, kembali ke dalam. Arini menghela napas dalam. Dan ia merasakan ada sesuatu yang kembali hidup di kedalaman sana. Semangatnya. Ya, semangatnya telah kembali bangkit. Tiba-tiba ia merasa yakin, bagaimana pun buruknya badai yang akan menerpanya, di sisinya masih ada lengan-lengan kokoh untuk berpegangan, dan bahu-bahu yang kukuh tempat ia menyandarkan diri, yaitu keluarganya.
   “Bismillah....”
   Diraihnya majalah itu dan dipandanginya foto gadis cantik berhijab yang sedang senyum tersipu di sampulnya itu. Oke, Arini, katanya di hati, seperti yang Mama bilang tadi, hasil dari perbuatanmu adalah apa yang kamu niatkan. Jadi, kamu punya hak untuk menentukan apa-apa yang paling layak kamu peroleh buat hidup kamu di masa depan. Dan ia tersenyum, meski tak secantik senyum gadis berhijab di sampul majalah itu, namun ia sudah menemukan senyumnya kembali.
   Suatu hari, sehari setelah penyelenggaraan acara Isra Mi’raj di kampus yang katanya kurang bagus, ya, katanya, sebab Arini tidak bisa menghadiri acara itu karena ada sesi pemotretan buat produk pakaian muslimah – job pertamanya sebagai model, ia dicegat oleh seorang pemuda ketika sedang menuju ke perpustakaan.
   “Assalammu alaykum, Muslimah cantik!” Pemuda itu melompat tiba-tiba ke hadapan Arini dan berdiri tepat di arah jalannya, membuat Arini kaget dan meloncat mundur selangkah.
   “Wa alaykum salam,” jawab Arini refleks, sambil memegang dadanya, menenangkan jantungnya yang tersentak. Ditatapnya pemuda itu sambil menghela napas panjang.
   “Masih ingat aku?” tanya pemuda itu, tersenyum – sebenarnya lebih tepat menyeringai.
   Arini tetap hanya menatap. Tak mengisyaratkan apa pun. Juga pada tatapannya. Sebenarnya di dalam hati ia merasa sedih melihat sosok kurus dan berwajah agak pucat itu. Begitu cepat ia berubah jadi seperti ini, bisik hatinya. Namun ia menahan diri agar tetap bersikap biasa.
   “Beberapa waktu lalu,” Pemuda itu tak putus asa, “aku mencintai gadis muslimah yang kurasa dia juga mencintaiku. Dia gadis yang cantik, baik, dan solehah. Tapi...,” ia membentangkan kedua tangannya, “aku lalu bersikap bodoh. Aku lupa bahwa intan tetaplah intan walaupun berada di lumpur.”
   Arini masih utuh dengan sikapnya. Hanya menatap tanpa arti apa-apa.
   “Akhirnya, aku sadar kalo aku udah keliru bersikap. Harusnya, aku tetap di sisinya supaya bisa terus menjaga dan mendukungnya biar tetap teguh menjadi muslimah yang solehah. Jadi, ya inilah akhirnya.” Sekarang ia terlihat pasrah. Sirat matanya terlihat sedih sekali. Namun tetap berusaha tersenyum, dengan senyumnya yang lebih menyerupai seringaian itu. “Kamu udah dengar kalo acara Isra Mi’raj kemarin gagal total?”
   Arini menghela napas. “Kalo itu berkaitan sama aku, ya aku minta maaf,” ucapnya, tulus.
   Andhika mengangguk. “Kamu udah dimaafkan,” tersenyum, “selalu dimaafkan.”
   “Makasih,” ucap Arini.
   “Kamu tau kenapa acara itu bisa gagal total?” Andhika menunggu respons Arini, tapi tak ada. Maka ia melanjutkan, “Karena aku betul-betul nggak bisa berhenti mikirin kamu. Dan parahnya lagi, kamu juga nggak hadir pas acara itu dilaksanakan. Ya Allah... aku rasanya jadi seperti hilang ingatan kemarin itu,” cerita Andhika.
   “Aku minta maaf,” ucap Arini, sungguh-sungguh, “Aku nggak bisa hadir karena pas ada sesi pemotretan buat iklan pakaian muslimah.”
   “Oh ya? Apa nama produknya?” tanya Andhika, antusias. Jujur ia memang merasa begitu.
   “Kafah.”
   “Wah, pakaian muslim cowoknya bagus-bagus, tuh!” seru Andhika, gembira. “Kalo aku beli baju koko di situ, bisa dapet diskon nggak? 'Kan yang jadi modelnya pacarku?”
   Deg! Jantung Arini terguncang. Jadi, aku masih pacarnya? Ah...! Seluruh pembuluh darah di tubuhnya serentak berdenyar. Ia menghela napas dan mengamati pemuda di hadapannya itu, mencari petunjuk kesungguhannya. “Aku nggak tau,” ujarnya. “Tapi nanti bisa kita coba cari tau.”
   “Siip!” Andhika gembira. “Sekarang gimana kalo kita ke kantin dulu? Aku laper banget, nih. Tadi pagi nggak sarapan soalnya.”
   “Oke,” angguk Arini. “Boleh aku traktir pakai duit honor aku jadi model?”
   “Dengan senang hati!” Andhika bahagia dengan pesta kembang api dalam matanya.
   Arini tersenyum. “Tapi abis itu temenin aku ke perpustakaan, ya?”
   “Siiap!” tanggap Andhika, sigap.
   Dan mereka membelok menuju ke kantin. Arini melirik pemuda yang melangkah di sisinya dengan wajah bahagia itu.
   “Alhamdulillah...,” bisik hatinya.

***
M. H. Thamrin Mahesarani
Batang, 23 Januari 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.