Arini
memperhatikan foto itu satu per satu. Pada salah satu foto ia berhenti. Seulas
senyum tersungging di bibirnya. Dielusnya gambar itu dengan ujung jemarinya. Ah,
kamu memang cantik, Arini, pujinya, dan senyumnya kian indah menghias bibirnya.
Sambil
terus mengelus-elus fotonya, ia melamun. Nanti kalau majalah itu terbit, dan
Andhika melihat gambar sampulnya, dia tentu akan kaget. Ya, dia pasti kaget.
Arini! Hei, itu Ariniku! Ia terbelalak memerhatikan gadis cantik pada sampul
majalah itu. Gadis cantik yang seolah tengah menatapnya dengan senyum yang
paling manis. Senyum yang lebih manis dari yang pernah ia dapatkan dari si
cantik itu. Ah...! Arini tersenyum dengan sesuatu terasa merekah indah di dalam
dadanya. Impian itu.
Hmm...
di mana ya dia akan melihat majalah itu nanti? Arini mereka-reka. Di toko buku?
Atau... di penjual koran di pinggir jalan? Atau... ah ya! Di traffic light! Ya, ya. Andhika lagi naik
bus. Dan kebetulan bus itu terhadang lampu merah. Kemudian bocah penjaja koran
itu mengacungkan ‘majalahku’ padanya.
“Om,
majalah GADIS baru, Om! Cover-nya cewek paling cakep sedunia nih, Om! Isinya
juga bagus buat dihadiahkan ke pacar, Om!” begitu kata penjaja koran.
Andhika
tertarik dan melihat ke majalah yang diacungkan penjaja koran itu. Wah, dia kaget.
Hei, Arini! Ariniku!
“Hei,
sini! Lihat majalahnya!” ia menggapai penjaja koran. Si bocah penjaja koran
mengangsurkan ‘majalahku’ lewat jendela pada Andhika. Dengan perasaan tak
menentu, Andhika memerhatikan sampul majalah itu. Tangannya gemetar. Matanya
membelalak pada foto gadis cantik itu. Ini Ariniku! Ini pasti Ariniku!
Kemudian
dibaliknya sampul itu. Hatinya berdebar-debar. Pada daftar isi ia temukan nama
itu: ARINI. Ia ternganga. Ariniku! Dan traffic
light menyala hijau. Bus pun bergerak.
“Om,
duitnya, Om!” bocah penjaja koran menadahkan tangannya di bibir jendela.
“Duitnya dong, Om!” bocah tanggung itu berlari-lari kecil menjajari laju bis.
Andhika
tersadar dan bergegas mengeluarkan dompet, mengambil selembar limaribuan lalu
diterbangkannya lewat jendela.
“Terimakasih!”
teriaknya, mengeluarkan kepala dari jendela.
Penjaja
koran yang semula sudah putus asa mengikuti laju bis, jadi bersemangat lagi
ketika melihat lembaran lima ribuan itu melayang-layang. Ia percepat larinya
dan ia terkam uang itu dengan sukacita. Ketika kembali ke tempat mangkalnya di
trotoar traffic light, dielus-elusnya
gambarku di majalah itu.
“Terimakasih,
Nona Paling Cantik Sedunia. Kamu memang Dewi Keberuntungan,” ucapnya. “Karena
gambarmu, aku untung empat ribu perak! Asyiiikkk!” dan ia tertawa, sambil
mengelus-elus fotoku lagi.
Di
dalam buskota. Andhika dengan perasaan bangga meluap-luap memperlihatkan sampul
majalah itu pada semua penumpang.
“Hei,
lihat! Ini pacarku! Arini namanya. Cantik, 'kan? Cantik, 'kan? Kalian beli
majalahnya, ya? Kalian harus beli majalahnya!” kepada semua penumpang ia
mengatakan itu. “Beli, ya? Beli, ya? Awas, kalau kalian nggak beli!”
Semua
penumpang kagum pada kecantikanku dan berminat ingin membeli ‘majalahku’. Maka
begitu bus sampai di terminal, mereka segera menyerbu penjual koran dan membeli
‘majalahku’. Wah...!
“Hei,
kok senyum-senyum sendirian, Nona Manis?” tegur sebuah suara.
Arini
terjaga dari lamunannya. Ia menoleh ke pintu, dan tersipu-sipu. Mama tersenyum
menggoda. Arini mengulum senyum dengan semu dadu di pipi-pipinya.
“Andhika
sudah datang, tuh. Ayo, jangan biarkan dia dikeroyok nyamuk. Nanti kamu nggak
kebagian, lho!” kata Mama sebelum lenyap di balik pintu.
Andhika
sedang asyik dengan asap rokoknya ketika Arini menemuinya.
“Ngerokok!
Udah bisa nyari duit sendiri, ya?” ujar Arini sambil duduk di hadapannya.
Diletakkannya album fotonya di atas meja.
Sambil
meringis Andhika mematikan rokoknya di asbak, kemudian meraih album foto itu.
Dan ia pun asyik dengan foto-foto Arini di dalamnya.
“Kamu
foto di studio mana, nih?” tanyanya, “kok bagus-bagus banget?”
Arini
cuma senyum saja. Diam-diam sesuatu yang indah mengisi dadanya.
“Hei,
wah, keren banget, nih!” seru Andhika ketika melihat foto terbaik dari sekian
foto itu. “Wih, kamu kayak foto model aja!” komentarnya.
“Iya?”
Arini berpindah ke sampingnya. “Memangnya aku pantes jadi foto model?” tanyanya
dengan perasaan menggelembung. Besaaarrr sekali!
“Uuh,
pantes banget!” jawab Andhika. “Kamu cantik, dan... tuh, lihat! Kamu juga pinter
berpose!” diulurkannya foto itu jauh-jauh, diamatinya dengan sikap mengagumi.
Arini
memperhatikan tingkahnya dengan perasaan senang. Senaaang sekali!
“Yang
ini buat aku, ya?” kata Andhika, menolehnya.
Arini
mengangguk. Andhika segera mengeluarkan foto itu dari albumnya dan
memasukkannya ke saku baju. Setelah itu, ia asyik kembali dengan foto-foto yang
lain.
“Kok
fotonya close-up melulu sih?” tanyanya, memberikan album itu pada Arini.
“He-hm,
sengaja!” Arini mengangguk dalam kulum senyum.
“Biar
kelihatan cantiknya, ya?” goda Andhika, menyentuh puncak hidung Arini.
“Aaah,
kamu!” Arini menyerbu pinggang Andhika dengan cubitan manja. Mukanya bersemu
dadu. Andhika tertawa-tawa senang.
“Dhika,”
panggil Arini setelah canda mesra itu usai. “Aku... eeh, aku ingin,” ia
ragu-ragu.
“Ingin
apa? Cup? Apa sun?” goda Andhika.
“Aaah,
genit, ah! Serius, nih!” Arini menyerbu pinggang Andhika lagi.
“Oke,
oke! Bilang, deh!”
Arini
jadi ragu lagi.
“Engh...
aku ingin... jadi foto model....”
“Haaa?”
Andhika tercengang dan lalu meledak ketawa. “Kamu ini ada-ada aja,” ujarnya di
sela tawa.
“Aaah!
Aku serius, nih!” rengek Arini, merajuk.
Andhika
memerhatikannya, beberapa saat, dan seketika jadi sangat serius.
“Kamu
serius, Rin? Kamu mau jadi foto model?” tanyanya.
Arini
menatapnya, lalu mengangguk pelan.
“Boleh?”
tanyanya takut-takut.
Andhika
terdiam dan menyandar. Mukanya berubah keruh.
“Boleh,
Dhika? Boleh, ya?” tanya Arini lagi, harap-harap cemas.
Andhika
menatapnya, beberapa jenak, kemudian menghela napas. Berat sekali!
“Lebih
baik jangan, Rin.” ujarnya kemudian, di sela hembusan napasnya.
“Kenapa?”
Arini seketika diterpa kecewa.
Andhika
menggeleng-geleng. “Pokoknya aku nggak suka kamu jadi ‘begituan’.”
Arini
merunduk. Menggigit bibir. Jadi ‘begituan...!’ Ia sedih sekali. Ya, ia merasa
sangat sedih oleh keputusan Andhika itu. Padahal... ah, semuanya sudah
terlanjur.... Matanya terasa panas. Ia memejam. Bening merembes dari sela
katupan kelopak matanya. Ia menyesal. Ia menyesal telah melakukan tindakan itu
tanpa minta persetujuan Andhika dulu. Tindakan yang justru tak disetujui
Andhika! Oh...! Ia jadi sangat sedih. Sangat sedih karena keterlanjurannya.
Keterlanjuran yang membuatnya merasa sangat bersalah! Ia merasa sedang akan
mengecewakan Andhika! Itulah yang ditakutinya. Mengecewakan Andhika!
Pada
hari-hari selanjutnya, Arini jadi sangat berubah. Ia bukan lagi Arini yang
ceria, yang murah senyum, dan yang penuh canda riang seperti kemarin-kemarin.
Arini yang sekarang adalah Arini yang pemurung, yang pembisu, dan yang selalu
menyendiri. Andhika sering bertanya, kenapa ia tiba-tiba jadi begitu. Juga
teman-temannya. Tetapi ia hanya menggeleng dan menggeleng. Tak pernah bicara
apa pun!
Pada
hari Jumat, seusai jam sekolah, Andhika kembali mendatanginya.
“Kamu
kenapa sih, Rin? Kok mendadak jadi pemurung gitu?” tanyanya.
Arini
menggeleng-geleng dan menyembunyikan matanya dari Andhika.
Andhika
menghela napas kesal. “Kamu marah padaku, Rin? Iya? Karena aku melarangmu jadi
foto model?” tanyanya lagi.
Diam-diam
Arini tercekat. Tetapi kepalanya selalu bergerak menggeleng.
“Abis
kenapa dong? Kamu... aduh, kamu membuatku jadi pusing, Rin!” ujar Andhika
kalang-kabut. “Ngomong dong! Ngomooong..!”
“Aku
nggak apa, Dhika! Paham?” sahut Arini ketus. “Aku cuma merasa nggak enak badan.
Percayalah!” sambungnya, dan lalu bergegas memacu langkah. Matanya terasa
panas. Ia ingin menangis. Sangat ingin! Tetapi ia tak mau Andhika tahu ia
menangis. Ia tak mau Andhika tahu ia sangat sedih karena keputusannya pada
malam Minggu kemarin. Ia tak mau Andhika tahu hal itu!
Malam
Minggu Andhika ke rumahnya. Arini sedang merenung-renung di kamar ketika Mama
memberitahukan kedatangannya itu. Ia bangkit dengan perasaan tak enak. Ada
perasaan aneh yang membuatnya jadi gelisah dan ketakutan. O, Tuhan... apa yang
akan terjadi? Apa, Tuhan...? Ia tengadah pada langit-langit. Wajahnya yang
cantik tersaput kabut kepucatan. Aku takut, Tuhan.... Ia turun dari pembaringan
dan melangkah menyeret sandal.
Tadi
siang ia melihat iklan majalah GADIS yang akan terbit hari Senin di harian
Kompas. Dan seketika itu pulalah ketakutannya meledak. Ia pucat-pasi memandang
foto pada iklan itu. Wajahnya akan menghiasi sampul majalah itu! Wajahnya akan
terpampang pada majalah... oh, Tuhan...! Ia menjerit panik dan lari masuk ke
kamarnya. Seribu bayangan buruk memburunya! Mengancam akan menghancurkannya! Ia
menjerit-jerit kalap dan memporak-porandakan isi kamarnya. Untunglah Mama dan
kakaknya segera datang dan meringkusnya. Kalau tidak, entah apa jadinya. Tetapi
yang jelas, dalam sekejap itu saja, kamarnya sudah jadi seperti kapal meledak!
Sebelum
membuka pintu kamarnya, Arini membenahi rambut dan menyeka sisa-sisa
airmatanya. Apa pun yang akan terjadi, aku sudah siap menerimanya kini. Aku
sudah siap... putusnya, pasrah, dan melangkah ke ruang tamu.
Tiba
di ambang pintu yang menghubungkan ruang tengah dan ruang tamu, Arini merandek.
Wajahnya yang pucat semakin pias. Matanya nanar menatap Andhika yang sedang
menekur pada iklan di harian Kompas yang tergeletak di atas meja. Dia sudah
mengetahuinya! Arini gemetar.
Tiba-tiba
Andhika mengangkat muka dan menatap padanya. Sesuatu yang sangat menakutkan
tersemburat dari mata itu dan menghunjam di dada Arini. Sakit sekali!
“Hai,
Arin,” sapanya, bangkit berdiri dan tersenyum. Senyum sumbang!
Dengan
langkah goyah Arini menuju ke kursi. Mereka duduk berhadapan. Berseberangan
meja. Arini merunduk bungkam. Pucat pasi. Dan Andhika bersandar menatapnya.
Wajahnya keruh.
“Kurasa
aku mulai mengerti, apa sebabnya kamu akhir-akhir ini jadi murung begitu,
Arin,” cetus pemuda itu setelah sekian waktu membiarkan kebisuan terjalin di
antara mereka. Kebisuan yang sangat mencekam dan menyiksa!
Arini
tetap runduk dalam kepucatannya. Diam-diam ia memejam dan menggigit bibir kuat-kuat.
Ia tak menduga segalanya terjadi lebih cepat dari perkiraannya.
Sambil
menghela napas berat, Andhika bangkit.
“Aku
mengucapkan selamat padamu, Arin,” katanya dengan suara parau.
Arini
menengadah. Menatapnya dengan mata basah. Andhika mengulurkan tangan.
“Maafkan
aku, Arin. Aku, aku... ah, aku nggak bisa menerima semua ini. Aku sudah
mengatakannya padamu, aku nggak suka kamu jadi ‘begituan’. Aku nggak sanggup
membayangkan bagaimana perasaanku, kalau mereka suatu saat mengatakan bahwa
pacarku seorang gadis model. Aku nggak sanggup, Arin. Aku... ah, maafkan
aku...” Andhika tengadah dan mencengkeram rambutnya. Dadanya bergelombang
deras.
Arini
merunduk lagi dan berkata lirih.”Aku mengerti, Dhika. Aku mengerti perasaanmu.”
Ia menggigit bibir. “Aku bersalah. Kuakui, aku telah melakukan kesalahan itu,
Dhika. Dan... aku sudah siap menerima akibatnya. Aku... aku nggak sakit hati
kalau kamu meninggalkanku, Dhika, karena itu demi kebaikanmu. Demi nilai dirimu
di mata mereka...” Dibendungnya gejolak tangis yang hendak tumpah. Sekuat
tenaga.
“Pergilah,
Dhika. Pergilah... sebelum mereka mengejekmu karena memiliki kekasih seorang
foto model. Pergilah, Dhika... pergilah...!”
Andhika
menatapnya. Berbagai perasaan yang bergelut di dadanya tersemburat lewat
matanya. Dan Arini melihat itu. Ia melihat itu!
“Maafkan
aku, Arin,” ucapnya lirih. Ia melangkah mendekati Arini, kemudian dikecupnya
pipi gadis itu. “Aku mencintaimu... Tapi, ah...!”
“Pergilah,
Dhika. Lupakan saja semua yang telah lalu,” ujar Arini terisak.
Andhika
mengelus rambut Arini, lalu menghela napas dalam-dalam. Ia melangkah pergi
dengan langkah goyah. Membawa sesuatu yang remuk-redam!
Arini
menangis tersedu-sedu di kursinya. Mahligai cinta yang telah mereka bina selama
bertahun-tahun itu ternyata harus berakhir sampai di sini. Kandas di sini! Ia
lari ke dalam bersamaan dengan derum pertama mobil Andhika.
Aku
yang salah! Aku yang telah menghancurkan mahligai ini! Aku! Aku! Arini
membenamkan semua sedih-sesalnya di bantal. Sekarang ia kehilangan Andhika.
Kehilangan orang yang paling dikasihinya. Kehilangan kekasih yang selama
bertahun-tahun telah setia menemaninya melangkah, menelusuri kehidupan remaja,
mengenali warna-warni hidup yang terbuka lembar demi lembar bagi mereka. Ia
sangat sedih. Sangat takut. Ia tak pernah terpikir akan terjadinya hal ini.
Kehilangan ini. Ia merasa belum siap. Belum siap buat kehilangan Andhika!
“Arini....”
Mama duduk di tepi pembaringannya dan mengelus rambutnya dengan penuh kasih.
“Apa yang terjadi, Sayang?”
Arini
memandang Mama dengan mata sembab. Wajahnya kusut dan pucat. Sekusut dan
sepucat cahaya hari mendung yang masuk lewat jendela kamar.
“Ma...,”
katanya sambil menggenggam tangan mamanya, “apakah foto model itu pekerjaan
yang buruk, Ma?”
Mama
tersenyum lembut. “Jadi, itukah persoalannya?” tanyanya.
“Ya,
Ma. Andhika nggak suka Arin jadi foto model. Dia takut diejek teman-temannya
karena Arin jadi ‘begituan’,” tutur Arini mau menangis.
Mama
membelai pipi puterinya. “Kalian sama-sama salah kalau begitu,” ujarnya. “Kamu
salah karena tidak minta persetujuannya dulu. Jadi, wajar kalau dia marah,
karena ia merasa kamu sepelekan. Dan Andhika bersalah karena mencoba mengekang
kebebasanmu dan menjegal salah satu cita-citamu, padahal dia belum menjadi
suamimu, 'kan?”
Mama
menoel puncak hidung Arini. “Terus-terang, Mama tidak keberatan kalian
berpacaran. Hanya ingat, kalian baru pacaran, belum jadi suami-isteri. Jadi
jagalah batas-batas hubungan kalian, ya? Dan juga, karena kalian belum jadi
suami-isteri, maka tentu saja kalian masih memiliki kebebasan menentukan arah
hidup. Dia tak berhak merintangi cita-citamu, juga sebaliknya, kamu jangan
menghalangi cita-citanya. Setuju?”
“Dan
mengenai pekerjaan sebagai foto model, yang tentu saja dalam arti foto model
yang seperti di majalah-majalah umum itu, Mama rasa tidak ada buruknya. Sebab,
pekerjaan itu tidak melanggar norma-norma kesusilaan dan hukum, 'kan? Nah, jadi
tak perlu kamu khawatirkan lagi. Kalau besok wajah kamu terpampang di majalah
GADIS, itu bukanlah aib, tetapi prestasi. Prestasi yang berhasil kamu raih!
Berbanggalah dengan prestasimu itu. Setuju? Nah, bangunlah. Sudah sore. Mandi
dan gosok gigi. Ayo!” Mama tertawa melihat puterinya melipat muka karena
dinasihat agar menggosok gigi.
“Memangnya
Arin anak kecil. Pake disuruh gosok gigi segala!” sungut Arini.
“E-eh,
jangan sok ya, Non! Buktinya gigimu sempat ditambal, hayo...?” tuding Mama.
Arini
meringis malu dan mencubit lengan mamanya. Mamanya menertawakannya sambil
beranjak meninggalkannya.
“Ma...,”
panggil Arini ketika mamanya hendak membuka pintu. Mama menolehnya.
“Mama
mau menolong Arin nggak?”
“Tentu.
Tentu saja. Apa yang harus Mama kerjakan untukmu, Anak manis?”
“Tolong
bilang Kakak, aku minta dibelikan majalah GADIS.”
“Ya,
ampun. Kamu sudah pikun apa? Majalah GADIS 'kan hari Senin terbitnya, Non.”
“Sore
ini sudah terbit, Ma,” Arini ngotot.
“Baiklah.
Di mana belinya? Di Blok M?” Mama mengalah.
Arini
mengangguk. “Terimakasih, Ma,” ucapnya.
Mama
lenyap di balik pintu. Arini menghela napas. Ada sedikit kelegaan di hatinya
setelah mendengar pendapat Mama tentang foto model itu. Meskipun perasaan
kehilangan masih terasa mengganggu. Tetapi... ah, persetan! Persetan dengan
manusia egois itu! Akan kubuktikan padanya, bahwa foto model itu bukan
pekerjaan yang buruk! Dan akan kubuktikan juga padanya, bahwa aku, seorang
wanita yang terbelenggu cinta ini, masih bisa bangkit putuskan rantai pengikat,
serta tegak kembali. Tegar! Akan kubuktikan padanya, bahwa wanita tidak
selamanya lemah. Tidak! Dan....
“Ehm!”
terdengar deheman di pintu. Arini menoleh kaget.
Mama
tersenyum. “Ngelamunin siapa ya?” godanya.
Arini
cuma menyeringai. “Ada apa, Ma?”
“Rupanya
kakakmu tak perlu lagi pergi ke Blok M, Rin. Karena... sudah ada yang
mendahului memberi pertolongan pada kamu, tuh,” kata Mama.
“Maksud
Mama?” tanya Arini tak mengerti.
“Sudah
ada yang membawakan majalah itu untukmu,” jelas Mama.
Dahi
Arini berkernyit. “Siapa, Ma?” tanyanya sambil diam-diam mulai mereka-reka
orang yang dimaksud Mama itu. Andhika? Ah, masak, sih? Habis siapa, dong?
“Lihat
saja sendiri,” kata Mama mengajak berteka-teki.
Arini
melompat dari pembaringan dan melangkah bergegas ke pintu tanpa mengenakan
sandalnya.
“Hei,
hei! Sabar, Non. Mandi dulu, dong!” cegat Mama.
“Ah,
nggak jaman, deh! Arin penasaran nih!” Arini menyerobot ke luar dan melangkah
cepat-cepat ke ruang tamu. Di ambang pintu yang menghubungkan ruang tengah dan
ruang tamu ia merandek, tertegun.
Di
kursi ruang itu duduk seorang pemuda. Kepalanya menekur pada majalah GADIS
terbaru, menatap erat-erat pada gambar sampulnya yang seorang gadis cantik itu.
Gadis cantik Arini.
“Dhika...,”
bibir Arini gemetar menyebut nama itu.
Pemuda
itu menengadah dan tersenyum. Ah! Arini terpesona pada senyumnya itu.
“Kamu
sakit, Rin? Kok wajahmu pucat? Ah, kamu tak secantik Ariniku itu.”
Andhika datang padanya dan mengajaknya ke kursi. Didudukkannya Arini di sofa,
lalu ia sendiri duduk di sampingnya.
“Aku...
aku nggak ngerti,” kata Arini lirih, kebingungan.
Andhika
menggenggam tangannya. “Kamu benar, Arin. Aku sendiri juga nggak ngerti, kenapa
aku bisa bersikap begitu bodoh dan picik, kenapa aku begitu tega merusakkan
impian indahmu itu. Ah, aku minta maaf, Arin. Aku minta maaf. Aku sungguh
menyesal. Aku... oh, Tuhan, kamu mau memaafkan aku, 'kan? Kamu mau, 'kan? Ah,
aku bangga padamu, Arin. Aku bangga padamu. Aku... eh, hei, kamu tau nggak?
Baru sekali ini lho aku melihat seorang gadis model yang begitu sempurna
kecantikannya! Dan... percaya nggak? Gadis model itu pacarku. Arini namanya!”
cerocos Andhika.
“Tetapi
mereka akan mengejekmu, Dhika. Mereka akan mengatakan bahwa pacarmu seorang
‘gadis model’, Mereka akan mengejekmu, Dhika...,” ujar Arini dengan suara
murung. “Mereka akan mengejekmu, karena aku gadis ‘begituan’, karena....”
“Cukup,
Rin, cukup,” cegat Andhika. Mukanya merah padam. “Dengar, ya. Persetan dengan
mereka! Persetan dengan segala ejekan mereka! Aku mencintaimu, Arin. Aku
mencintaimu! Itu yang penting bagiku! Aku mencintaimu! Apa pun yang akan mereka
katakan....”
“Cukup,
Dhika...,” Arini menutup mulut Andhika dengan jemarinya. “Jangan
berteriak-teriak begitu dong. Nggak enak di dengar Mama, Papa, dan Kakak....”
“Kami
sudah mendengarnya, kok, Rin, Dhika...,” ujar kakak Arini dari ambang pintu
ruang tengah. Tersenyum menggoda. Di belakangnya ada Mama dan Papa. Juga
tersenyum menggoda.
Mereka
serentak menoleh ke sana, dan merah padam.
“Yah...!
Kamu, sih...!” Arini mencengkeram pinggang Andhika.
***
Telah
diterbitkan
pada Majalah
Gadis No. 24, 13-23 September 1983
Sebagai
Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerpen GADIS
di
bawah nama: M. H. Thamrin Mahesarani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.