08 November 2017

Impian Kecil Arini

Arini memperhatikan foto itu satu per satu. Pada salah satu foto ia berhenti. Seulas senyum tersungging di bibirnya. Dielusnya gambar itu dengan ujung jemarinya. Ah, kamu memang cantik, Arini, pujinya, dan senyumnya kian indah menghias bibirnya.
Sambil terus mengelus-elus fotonya, ia melamun. Nanti kalau majalah itu terbit, dan Andhika melihat gambar sampulnya, dia tentu akan kaget. Ya, dia pasti kaget. Arini! Hei, itu Ariniku! Ia terbelalak memerhatikan gadis cantik pada sampul majalah itu. Gadis cantik yang seolah tengah menatapnya dengan senyum yang paling manis. Senyum yang lebih manis dari yang pernah ia dapatkan dari si cantik itu. Ah...! Arini tersenyum dengan sesuatu terasa merekah indah di dalam dadanya. Impian itu.
Hmm... di mana ya dia akan melihat majalah itu nanti? Arini mereka-reka. Di toko buku? Atau... di penjual koran di pinggir jalan? Atau... ah ya! Di traffic light! Ya, ya. Andhika lagi naik bus. Dan kebetulan bus itu terhadang lampu merah. Kemudian bocah penjaja koran itu mengacungkan ‘majalahku’ padanya.
“Om, majalah GADIS baru, Om! Cover-nya cewek paling cakep sedunia nih, Om! Isinya juga bagus buat dihadiahkan ke pacar, Om!” begitu kata penjaja koran.
Andhika tertarik dan melihat ke majalah yang diacungkan penjaja koran itu. Wah, dia kaget. Hei, Arini! Ariniku!
“Hei, sini! Lihat majalahnya!” ia menggapai penjaja koran. Si bocah penjaja koran mengangsurkan ‘majalahku’ lewat jendela pada Andhika. Dengan perasaan tak menentu, Andhika memerhatikan sampul majalah itu. Tangannya gemetar. Matanya membelalak pada foto gadis cantik itu. Ini Ariniku! Ini pasti Ariniku!
Kemudian dibaliknya sampul itu. Hatinya berdebar-debar. Pada daftar isi ia temukan nama itu: ARINI. Ia ternganga. Ariniku! Dan traffic light menyala hijau. Bus pun bergerak.
“Om, duitnya, Om!” bocah penjaja koran menadahkan tangannya di bibir jendela. “Duitnya dong, Om!” bocah tanggung itu berlari-lari kecil menjajari laju bis.
Andhika tersadar dan bergegas mengeluarkan dompet, mengambil selembar limaribuan lalu diterbangkannya lewat jendela.
“Terimakasih!” teriaknya, mengeluarkan kepala dari jendela.
Penjaja koran yang semula sudah putus asa mengikuti laju bis, jadi bersemangat lagi ketika melihat lembaran lima ribuan itu melayang-layang. Ia percepat larinya dan ia terkam uang itu dengan sukacita. Ketika kembali ke tempat mangkalnya di trotoar traffic light, dielus-elusnya gambarku di majalah itu.
“Terimakasih, Nona Paling Cantik Sedunia. Kamu memang Dewi Keberuntungan,” ucapnya. “Karena gambarmu, aku untung empat ribu perak! Asyiiikkk!” dan ia tertawa, sambil mengelus-elus fotoku lagi.
Di dalam buskota. Andhika dengan perasaan bangga meluap-luap memperlihatkan sampul majalah itu pada semua penumpang.
“Hei, lihat! Ini pacarku! Arini namanya. Cantik, 'kan? Cantik, 'kan? Kalian beli majalahnya, ya? Kalian harus beli majalahnya!” kepada semua penumpang ia mengatakan itu. “Beli, ya? Beli, ya? Awas, kalau kalian nggak beli!”
Semua penumpang kagum pada kecantikanku dan berminat ingin membeli ‘majalahku’. Maka begitu bus sampai di terminal, mereka segera menyerbu penjual koran dan membeli ‘majalahku’. Wah...!
“Hei, kok senyum-senyum sendirian, Nona Manis?” tegur sebuah suara.
Arini terjaga dari lamunannya. Ia menoleh ke pintu, dan tersipu-sipu. Mama tersenyum menggoda. Arini mengulum senyum dengan semu dadu di pipi-pipinya.
“Andhika sudah datang, tuh. Ayo, jangan biarkan dia dikeroyok nyamuk. Nanti kamu nggak kebagian, lho!” kata Mama sebelum lenyap di balik pintu.
Andhika sedang asyik dengan asap rokoknya ketika Arini menemuinya.
“Ngerokok! Udah bisa nyari duit sendiri, ya?” ujar Arini sambil duduk di hadapannya. Diletakkannya album fotonya di atas meja.
Sambil meringis Andhika mematikan rokoknya di asbak, kemudian meraih album foto itu. Dan ia pun asyik dengan foto-foto Arini di dalamnya.
“Kamu foto di studio mana, nih?” tanyanya, “kok bagus-bagus banget?”
Arini cuma senyum saja. Diam-diam sesuatu yang indah mengisi dadanya.
“Hei, wah, keren banget, nih!” seru Andhika ketika melihat foto terbaik dari sekian foto itu. “Wih, kamu kayak foto model aja!” komentarnya.
“Iya?” Arini berpindah ke sampingnya. “Memangnya aku pantes jadi foto model?” tanyanya dengan perasaan menggelembung. Besaaarrr sekali!
“Uuh, pantes banget!” jawab Andhika. “Kamu cantik, dan... tuh, lihat! Kamu juga pinter berpose!” diulurkannya foto itu jauh-jauh, diamatinya dengan sikap mengagumi.
Arini memperhatikan tingkahnya dengan perasaan senang. Senaaang sekali!
“Yang ini buat aku, ya?” kata Andhika, menolehnya.
Arini mengangguk. Andhika segera mengeluarkan foto itu dari albumnya dan memasukkannya ke saku baju. Setelah itu, ia asyik kembali dengan foto-foto yang lain.
“Kok fotonya close-up melulu sih?” tanyanya, memberikan album itu pada Arini.
“He-hm, sengaja!” Arini mengangguk dalam kulum senyum.
“Biar kelihatan cantiknya, ya?” goda Andhika, menyentuh puncak hidung Arini.
“Aaah, kamu!” Arini menyerbu pinggang Andhika dengan cubitan manja. Mukanya bersemu dadu. Andhika tertawa-tawa senang.
“Dhika,” panggil Arini setelah canda mesra itu usai. “Aku... eeh, aku ingin,” ia ragu-ragu.
“Ingin apa? Cup? Apa sun?” goda Andhika.
“Aaah, genit, ah! Serius, nih!” Arini menyerbu pinggang Andhika lagi.
“Oke, oke! Bilang, deh!”
Arini jadi ragu lagi.
“Engh... aku ingin... jadi foto model....”
“Haaa?” Andhika tercengang dan lalu meledak ketawa. “Kamu ini ada-ada aja,” ujarnya di sela tawa.
“Aaah! Aku serius, nih!” rengek Arini, merajuk.
Andhika memerhatikannya, beberapa saat, dan seketika jadi sangat serius.
“Kamu serius, Rin? Kamu mau jadi foto model?” tanyanya.
Arini menatapnya, lalu mengangguk pelan.
“Boleh?” tanyanya takut-takut.
Andhika terdiam dan menyandar. Mukanya berubah keruh.
“Boleh, Dhika? Boleh, ya?” tanya Arini lagi, harap-harap cemas.
Andhika menatapnya, beberapa jenak, kemudian menghela napas. Berat sekali!
“Lebih baik jangan, Rin.” ujarnya kemudian, di sela hembusan napasnya.
“Kenapa?” Arini seketika diterpa kecewa.
Andhika menggeleng-geleng. “Pokoknya aku nggak suka kamu jadi ‘begituan’.”
Arini merunduk. Menggigit bibir. Jadi ‘begituan...!’ Ia sedih sekali. Ya, ia merasa sangat sedih oleh keputusan Andhika itu. Padahal... ah, semuanya sudah terlanjur.... Matanya terasa panas. Ia memejam. Bening merembes dari sela katupan kelopak matanya. Ia menyesal. Ia menyesal telah melakukan tindakan itu tanpa minta persetujuan Andhika dulu. Tindakan yang justru tak disetujui Andhika! Oh...! Ia jadi sangat sedih. Sangat sedih karena keterlanjurannya. Keterlanjuran yang membuatnya merasa sangat bersalah! Ia merasa sedang akan mengecewakan Andhika! Itulah yang ditakutinya. Mengecewakan Andhika!
Pada hari-hari selanjutnya, Arini jadi sangat berubah. Ia bukan lagi Arini yang ceria, yang murah senyum, dan yang penuh canda riang seperti kemarin-kemarin. Arini yang sekarang adalah Arini yang pemurung, yang pembisu, dan yang selalu menyendiri. Andhika sering bertanya, kenapa ia tiba-tiba jadi begitu. Juga teman-temannya. Tetapi ia hanya menggeleng dan menggeleng. Tak pernah bicara apa pun!
Pada hari Jumat, seusai jam sekolah, Andhika kembali mendatanginya.
“Kamu kenapa sih, Rin? Kok mendadak jadi pemurung gitu?” tanyanya.
Arini menggeleng-geleng dan menyembunyikan matanya dari Andhika.
Andhika menghela napas kesal. “Kamu marah padaku, Rin? Iya? Karena aku melarangmu jadi foto model?” tanyanya lagi.
Diam-diam Arini tercekat. Tetapi kepalanya selalu bergerak menggeleng.
“Abis kenapa dong? Kamu... aduh, kamu membuatku jadi pusing, Rin!” ujar Andhika kalang-kabut. “Ngomong dong! Ngomooong..!”
“Aku nggak apa, Dhika! Paham?” sahut Arini ketus. “Aku cuma merasa nggak enak badan. Percayalah!” sambungnya, dan lalu bergegas memacu langkah. Matanya terasa panas. Ia ingin menangis. Sangat ingin! Tetapi ia tak mau Andhika tahu ia menangis. Ia tak mau Andhika tahu ia sangat sedih karena keputusannya pada malam Minggu kemarin. Ia tak mau Andhika tahu hal itu!
Malam Minggu Andhika ke rumahnya. Arini sedang merenung-renung di kamar ketika Mama memberitahukan kedatangannya itu. Ia bangkit dengan perasaan tak enak. Ada perasaan aneh yang membuatnya jadi gelisah dan ketakutan. O, Tuhan... apa yang akan terjadi? Apa, Tuhan...? Ia tengadah pada langit-langit. Wajahnya yang cantik tersaput kabut kepucatan. Aku takut, Tuhan.... Ia turun dari pembaringan dan melangkah menyeret sandal.
Tadi siang ia melihat iklan majalah GADIS yang akan terbit hari Senin di harian Kompas. Dan seketika itu pulalah ketakutannya meledak. Ia pucat-pasi memandang foto pada iklan itu. Wajahnya akan menghiasi sampul majalah itu! Wajahnya akan terpampang pada majalah... oh, Tuhan...! Ia menjerit panik dan lari masuk ke kamarnya. Seribu bayangan buruk memburunya! Mengancam akan menghancurkannya! Ia menjerit-jerit kalap dan memporak-porandakan isi kamarnya. Untunglah Mama dan kakaknya segera datang dan meringkusnya. Kalau tidak, entah apa jadinya. Tetapi yang jelas, dalam sekejap itu saja, kamarnya sudah jadi seperti kapal meledak!
Sebelum membuka pintu kamarnya, Arini membenahi rambut dan menyeka sisa-sisa airmatanya. Apa pun yang akan terjadi, aku sudah siap menerimanya kini. Aku sudah siap... putusnya, pasrah, dan melangkah ke ruang tamu.
Tiba di ambang pintu yang menghubungkan ruang tengah dan ruang tamu, Arini merandek. Wajahnya yang pucat semakin pias. Matanya nanar menatap Andhika yang sedang menekur pada iklan di harian Kompas yang tergeletak di atas meja. Dia sudah mengetahuinya! Arini gemetar.
Tiba-tiba Andhika mengangkat muka dan menatap padanya. Sesuatu yang sangat menakutkan tersemburat dari mata itu dan menghunjam di dada Arini. Sakit sekali!
“Hai, Arin,” sapanya, bangkit berdiri dan tersenyum. Senyum sumbang!
Dengan langkah goyah Arini menuju ke kursi. Mereka duduk berhadapan. Berseberangan meja. Arini merunduk bungkam. Pucat pasi. Dan Andhika bersandar menatapnya. Wajahnya keruh.
“Kurasa aku mulai mengerti, apa sebabnya kamu akhir-akhir ini jadi murung begitu, Arin,” cetus pemuda itu setelah sekian waktu membiarkan kebisuan terjalin di antara mereka. Kebisuan yang sangat mencekam dan menyiksa!
Arini tetap runduk dalam kepucatannya. Diam-diam ia memejam dan menggigit bibir kuat-kuat. Ia tak menduga segalanya terjadi lebih cepat dari perkiraannya.
Sambil menghela napas berat, Andhika bangkit.
“Aku mengucapkan selamat padamu, Arin,” katanya dengan suara parau.
Arini menengadah. Menatapnya dengan mata basah. Andhika mengulurkan tangan.
“Maafkan aku, Arin. Aku, aku... ah, aku nggak bisa menerima semua ini. Aku sudah mengatakannya padamu, aku nggak suka kamu jadi ‘begituan’. Aku nggak sanggup membayangkan bagaimana perasaanku, kalau mereka suatu saat mengatakan bahwa pacarku seorang gadis model. Aku nggak sanggup, Arin. Aku... ah, maafkan aku...” Andhika tengadah dan mencengkeram rambutnya. Dadanya bergelombang deras.
Arini merunduk lagi dan berkata lirih.”Aku mengerti, Dhika. Aku mengerti perasaanmu.” Ia menggigit bibir. “Aku bersalah. Kuakui, aku telah melakukan kesalahan itu, Dhika. Dan... aku sudah siap menerima akibatnya. Aku... aku nggak sakit hati kalau kamu meninggalkanku, Dhika, karena itu demi kebaikanmu. Demi nilai dirimu di mata mereka...” Dibendungnya gejolak tangis yang hendak tumpah. Sekuat tenaga.
“Pergilah, Dhika. Pergilah... sebelum mereka mengejekmu karena memiliki kekasih seorang foto model. Pergilah, Dhika... pergilah...!”
Andhika menatapnya. Berbagai perasaan yang bergelut di dadanya tersemburat lewat matanya. Dan Arini melihat itu. Ia melihat itu!
“Maafkan aku, Arin,” ucapnya lirih. Ia melangkah mendekati Arini, kemudian dikecupnya pipi gadis itu. “Aku mencintaimu... Tapi, ah...!”
“Pergilah, Dhika. Lupakan saja semua yang telah lalu,” ujar Arini terisak.
Andhika mengelus rambut Arini, lalu menghela napas dalam-dalam. Ia melangkah pergi dengan langkah goyah. Membawa sesuatu yang remuk-redam!
Arini menangis tersedu-sedu di kursinya. Mahligai cinta yang telah mereka bina selama bertahun-tahun itu ternyata harus berakhir sampai di sini. Kandas di sini! Ia lari ke dalam bersamaan dengan derum pertama mobil Andhika.
Aku yang salah! Aku yang telah menghancurkan mahligai ini! Aku! Aku! Arini membenamkan semua sedih-sesalnya di bantal. Sekarang ia kehilangan Andhika. Kehilangan orang yang paling dikasihinya. Kehilangan kekasih yang selama bertahun-tahun telah setia menemaninya melangkah, menelusuri kehidupan remaja, mengenali warna-warni hidup yang terbuka lembar demi lembar bagi mereka. Ia sangat sedih. Sangat takut. Ia tak pernah terpikir akan terjadinya hal ini. Kehilangan ini. Ia merasa belum siap. Belum siap buat kehilangan Andhika!
“Arini....” Mama duduk di tepi pembaringannya dan mengelus rambutnya dengan penuh kasih. “Apa yang terjadi, Sayang?”
Arini memandang Mama dengan mata sembab. Wajahnya kusut dan pucat. Sekusut dan sepucat cahaya hari mendung yang masuk lewat jendela kamar.
“Ma...,” katanya sambil menggenggam tangan mamanya, “apakah foto model itu pekerjaan yang buruk, Ma?”
Mama tersenyum lembut. “Jadi, itukah persoalannya?” tanyanya.
“Ya, Ma. Andhika nggak suka Arin jadi foto model. Dia takut diejek teman-temannya karena Arin jadi ‘begituan’,” tutur Arini mau menangis.
Mama membelai pipi puterinya. “Kalian sama-sama salah kalau begitu,” ujarnya. “Kamu salah karena tidak minta persetujuannya dulu. Jadi, wajar kalau dia marah, karena ia merasa kamu sepelekan. Dan Andhika bersalah karena mencoba mengekang kebebasanmu dan menjegal salah satu cita-citamu, padahal dia belum menjadi suamimu, 'kan?”
Mama menoel puncak hidung Arini. “Terus-terang, Mama tidak keberatan kalian berpacaran. Hanya ingat, kalian baru pacaran, belum jadi suami-isteri. Jadi jagalah batas-batas hubungan kalian, ya? Dan juga, karena kalian belum jadi suami-isteri, maka tentu saja kalian masih memiliki kebebasan menentukan arah hidup. Dia tak berhak merintangi cita-citamu, juga sebaliknya, kamu jangan menghalangi cita-citanya. Setuju?”
“Dan mengenai pekerjaan sebagai foto model, yang tentu saja dalam arti foto model yang seperti di majalah-majalah umum itu, Mama rasa tidak ada buruknya. Sebab, pekerjaan itu tidak melanggar norma-norma kesusilaan dan hukum, 'kan? Nah, jadi tak perlu kamu khawatirkan lagi. Kalau besok wajah kamu terpampang di majalah GADIS, itu bukanlah aib, tetapi prestasi. Prestasi yang berhasil kamu raih! Berbanggalah dengan prestasimu itu. Setuju? Nah, bangunlah. Sudah sore. Mandi dan gosok gigi. Ayo!” Mama tertawa melihat puterinya melipat muka karena dinasihat agar menggosok gigi.
“Memangnya Arin anak kecil. Pake disuruh gosok gigi segala!” sungut Arini.
“E-eh, jangan sok ya, Non! Buktinya gigimu sempat ditambal, hayo...?” tuding Mama.
Arini meringis malu dan mencubit lengan mamanya. Mamanya menertawakannya sambil beranjak meninggalkannya.
“Ma...,” panggil Arini ketika mamanya hendak membuka pintu. Mama menolehnya.
“Mama mau menolong Arin nggak?”
“Tentu. Tentu saja. Apa yang harus Mama kerjakan untukmu, Anak manis?”
“Tolong bilang Kakak, aku minta dibelikan majalah GADIS.”
“Ya, ampun. Kamu sudah pikun apa? Majalah GADIS 'kan hari Senin terbitnya, Non.”
“Sore ini sudah terbit, Ma,” Arini ngotot.
“Baiklah. Di mana belinya? Di Blok M?” Mama mengalah.
Arini mengangguk. “Terimakasih, Ma,” ucapnya.
Mama lenyap di balik pintu. Arini menghela napas. Ada sedikit kelegaan di hatinya setelah mendengar pendapat Mama tentang foto model itu. Meskipun perasaan kehilangan masih terasa mengganggu. Tetapi... ah, persetan! Persetan dengan manusia egois itu! Akan kubuktikan padanya, bahwa foto model itu bukan pekerjaan yang buruk! Dan akan kubuktikan juga padanya, bahwa aku, seorang wanita yang terbelenggu cinta ini, masih bisa bangkit putuskan rantai pengikat, serta tegak kembali. Tegar! Akan kubuktikan padanya, bahwa wanita tidak selamanya lemah. Tidak! Dan....
“Ehm!” terdengar deheman di pintu. Arini menoleh kaget.
Mama tersenyum. “Ngelamunin siapa ya?” godanya.
Arini cuma menyeringai. “Ada apa, Ma?”
“Rupanya kakakmu tak perlu lagi pergi ke Blok M, Rin. Karena... sudah ada yang mendahului memberi pertolongan pada kamu, tuh,” kata Mama.
“Maksud Mama?” tanya Arini tak mengerti.
“Sudah ada yang membawakan majalah itu untukmu,” jelas Mama.
Dahi Arini berkernyit. “Siapa, Ma?” tanyanya sambil diam-diam mulai mereka-reka orang yang dimaksud Mama itu. Andhika? Ah, masak, sih? Habis siapa, dong?
“Lihat saja sendiri,” kata Mama mengajak berteka-teki.
Arini melompat dari pembaringan dan melangkah bergegas ke pintu tanpa mengenakan sandalnya.
“Hei, hei! Sabar, Non. Mandi dulu, dong!” cegat Mama.
“Ah, nggak jaman, deh! Arin penasaran nih!” Arini menyerobot ke luar dan melangkah cepat-cepat ke ruang tamu. Di ambang pintu yang menghubungkan ruang tengah dan ruang tamu ia merandek, tertegun.
Di kursi ruang itu duduk seorang pemuda. Kepalanya menekur pada majalah GADIS terbaru, menatap erat-erat pada gambar sampulnya yang seorang gadis cantik itu. Gadis cantik Arini.
“Dhika...,” bibir Arini gemetar menyebut nama itu.
Pemuda itu menengadah dan tersenyum. Ah! Arini terpesona pada senyumnya itu.
“Kamu sakit, Rin? Kok wajahmu pucat? Ah, kamu tak secantik Ariniku itu.” Andhika datang padanya dan mengajaknya ke kursi. Didudukkannya Arini di sofa, lalu ia sendiri duduk di sampingnya.
“Aku... aku nggak ngerti,” kata Arini lirih, kebingungan.
Andhika menggenggam tangannya. “Kamu benar, Arin. Aku sendiri juga nggak ngerti, kenapa aku bisa bersikap begitu bodoh dan picik, kenapa aku begitu tega merusakkan impian indahmu itu. Ah, aku minta maaf, Arin. Aku minta maaf. Aku sungguh menyesal. Aku... oh, Tuhan, kamu mau memaafkan aku, 'kan? Kamu mau, 'kan? Ah, aku bangga padamu, Arin. Aku bangga padamu. Aku... eh, hei, kamu tau nggak? Baru sekali ini lho aku melihat seorang gadis model yang begitu sempurna kecantikannya! Dan... percaya nggak? Gadis model itu pacarku. Arini namanya!” cerocos Andhika.
“Tetapi mereka akan mengejekmu, Dhika. Mereka akan mengatakan bahwa pacarmu seorang ‘gadis model’, Mereka akan mengejekmu, Dhika...,” ujar Arini dengan suara murung. “Mereka akan mengejekmu, karena aku gadis ‘begituan’, karena....”
“Cukup, Rin, cukup,” cegat Andhika. Mukanya merah padam. “Dengar, ya. Persetan dengan mereka! Persetan dengan segala ejekan mereka! Aku mencintaimu, Arin. Aku mencintaimu! Itu yang penting bagiku! Aku mencintaimu! Apa pun yang akan mereka katakan....”
“Cukup, Dhika...,” Arini menutup mulut Andhika dengan jemarinya. “Jangan berteriak-teriak begitu dong. Nggak enak di dengar Mama, Papa, dan Kakak....”
“Kami sudah mendengarnya, kok, Rin, Dhika...,” ujar kakak Arini dari ambang pintu ruang tengah. Tersenyum menggoda. Di belakangnya ada Mama dan Papa. Juga tersenyum menggoda.
Mereka serentak menoleh ke sana, dan merah padam.
“Yah...! Kamu, sih...!” Arini mencengkeram pinggang Andhika.
***
Telah diterbitkan
pada Majalah Gadis No. 24, 13-23 September 1983
Sebagai Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerpen GADIS
di bawah nama: M. H. Thamrin Mahesarani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.